BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 24 Desember 2013

Pokok-Pokok RUU ASN: Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Harus Melalui Seleksi Terbuka

Oleh : DESK INFORMASI
Rancangan Undang-Undang (RUU) Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah disetujui DPR-RI untuk disahkan sebagai Undang-Undang (UU) pada Rapat Paripurna, Kamis (19/12) lalu, membagi jabatan ASN dalam tiga kelompok, yaitu: a. Jabatan Administrasi; b. Jabatan Fungsional; dan c. Jabatan Pimpinan Tinggi.
Jabatan Administrasi terdiri atas: a. Jabatan Administrator, yaitu jabatan yang diisi oleh pejabat yang bertanggung jawab memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan; b. Jabatan Pengawas, dimana pejabatnya bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana; dan c. Jabatan Pelaksana, dimana pejabatnya bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.
“Setiap jabatan sebagaimana dimaksud ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah,” bunyi Pasal 16, 17 RUU ASN ini.
Adapun Jabatan Fungsional terdiri atas jabatan fungsional keahlian, yang terdiri dari: a. Ahli utama; b. Ahli madya; c. Ahli muda; dan d. Ahli pertama; dan jabatan fungsional ketrampilan, yang terdiri dari: a. Penyelia; b. Mahir; c. Terampil; dan d. Pemula. “Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Fungsional diatur dengan Peraturan Pemerintah,” bunyi Pasal 18 Ayat (4) RUU ASN.
Sedangkan Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas: a. Jabatan pimpinan tinggi utama; b. Jabatan pimpinan tinggi madya; dan c. Jabatan pimpinan tinggi pratama. 
“Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud berfungsi memimpin dan memotivasi setiap Pegawai ASN pada Instansi Pemerintah, melalui a. Kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; b. Pengembangan kerjasama dengan instansi lain; dan c. Keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN,” bunyi Pasal 19 Ayat (2) RUU ASN.
Menurut RUU ini, Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN, namun untuk Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Pengisian Jabatan
RUU ASN yang disetujui DPR-RI untuk menjadi UU ASN ini menegaskan pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan memperhatikan syarat kompetitif, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya sebagaimana dimaksud dilakukan pada tingkat nasional,” bunyi Pasal 108 RUU tersebut.
Adapun pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS pada tingkat nasional atau antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan memperhatikan syarat kompetitif, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut RUU ASN ini, jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu dapat berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden.  “Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggita Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif,” bunyi Pasal 109 Ayat (2) RUU ASN ini.
RUU ini menegaskan, bahwa pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi Instansi Pemerintah, dan dalam pembentukan kepanitiaan harus berkoordinasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). “Panitia seleksi terdiri dari unsur internal maupun unsur eksternal Instansi Pemerintah yang berangkutan,” bunyi Pasal 100 Ayat (2) RUU ASN.
Ketentuan mengenai pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud dapat dikecualikan pada Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan Pegawai ASN dengan persetujuan KASN. “Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem merit dalam pembinaan Pegawai ASN wajib melaporkan secara berkala kepada KASN untuk mendapatkan persetujuan,” bunyi Pasal 111 Ayat (2) RUU ASN itu.
Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan/atau madya, panitia seleksi Instansi Pemerintah memilih 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan. Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi itu disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian, selanjutnya diusulkan kepada Presiden. “Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau madya,” bunyi Pasal 112 Ayat (4) RUU ini.
Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebihd ahulun membentuk panitia seleksi. Selanjutnya, panitia seleksi memilih 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan untuk disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian  melalui Pejabat yang Berwenang.
“Pejabat Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama yang diusulkan dengan memperhatikan pertimbangan Pejabat yang Berwenang untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama,” bunyi Pasal 113 Ayat (4) RUU ASN ini.
Untuk tingkat provinsi Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi madya yang dipilih panitia seleksi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, Presiden memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya.
Adapun untuk pejabat tinggi pratama di instandi daerah, Pejabat Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) calon yang diusulkan panitia seleksi melalui Pejabat yang Berwenang untuk ditetapkan dan dilantik sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama.
RUU ASN ini menegaskan, Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.
“Penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan madya sebelum 2 (dua) tahun dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden,” bunyi Pasal 116 Ayat (2) RUU ini.
Sementara pada Pasal 117 ditegaskan, bahwa Jabatan Pimpinan Tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun.
Mengenai Jabatan Pimpinan Tinggi itu, Pasal 131 RUU ASN menyebutkan, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan penyetaraan:
a. Jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah non kementerian setara dengan jabatan pimpinan tinggi utama;
b. Jabatan eselon Ia dan Ib setara dengan jabatan pimpinan tinggi madya;
c. Jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi pratama;
d. Jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator;
e. Jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan
f. Jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan pelasana.
(Ketentuan mengenai penyetaraan jabatan ini berlaku sampai dengan berlakunya peraturan pelaksana  mengenai Jabatan ASN dalam Undang-Undang ini).

Tidak ada komentar: