MERENCANAKAN dan merancang masa depan dengan penuh
optimis adalah suatu keharusan masa kini dengan bermodalkan apa yang
telah didapat dari masa lalu.
Pembacaan atas potensi positif yang dimiliki dan evaluasi kritis atas kesalahan atau kekurangan yang terjadi pada masa lalu perlu dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan “jatuh pada lobang yang sama” pada masa yang akan datang.
Dalam bahasa agama, evaluasi kritis ini disebut dengan istilah muhasabah yang bermakna mendeteksi kekurangan diri (self detection for our own impurities). Muhasabah ini berteman akrab dengan mujahadah yang bermakna usaha keras untuk bangkit dan memperoleh yang terbaik; tak mungkin yang satu berhasil tanpa yang lainnya, baik dalam konteks pengembangan diri secara personal maupun mengembangan bangsa dan negara secara komunal.
Tahun 2013 baru saja berlalu dengan segala warna-warninya yang tak semuanya indah. Mengikuti kaidah kehidupan yang mengajarkan keberpasangan elemen hidup seperti siang dan malam, putih dan hitam serta gelap dan terang, catatan para pengamat di berbagai bidang menunjukkan sisi positif dan negatif yang terekam sepanjang 2013 itu.
Dominasi cacatan positif atas catatan negatif tentu saja akan melahirkan optimisme pada 2014 ini, sebagaimana dominasi sebaliknya akan melahirkan pesimisme. Dominasi ini bukan hanya dilihat dari sisi kuantitas melainkan juga kualitas. Membaca segala peristiwa sepanjang 2013 di negeri kita ini, manakah yang paling mungkin lahir di benak dan jiwa kebanyakan anak bangsa, optimisme atau pesimisme?
Sebagai umat yang beragama, yang memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa, sikap pesimis atau putus asa adalah aib yang harus dihindari. Sementara sikap optimis harus senantiasa dibangkitkan dengan sebuah kesadaran bahwa apabila semua yang terjadi dievaluasi dan diambil hikmahnya dan yang direncanakan dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ada, pasti terbuka jalan keluar dari masalah menuju kesuksesan yang diharapkan.
Betapapun banyak pengamat yang dengan kemampuan forecasting-nya pesimis dengan masa depan, anak bangsa harus tetap optimis. Kata penyair, “mendung esok hari tidak boleh merusak indahnya cuaca hari ini, karena mendung esok hari bisa jadi tampak indah berubah wujud menjadi pelangi.”
Tentu saja optimisme harus dibarengi dengan upaya konstruktif memperbaiki citra dan rencana guna menghapus keraguan akan masa depan. Abilitas dan kapabilitas pemimpin merupakan syarat yang utama agar mampu menggerakkan kembali rasa dan karsa masyarakat umum yang tengah mengalami defisit kepercayaan pada pemerintah.
Pagelaran panggung politik 2014 dengan agenda pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sungguh menjadi pertaruhan besar bersama yakni mewujudkan mimpi atau mengancurkannya, meraih kembali citra yang hilang atau hidup berbangsa dan bernegara tanpa citra apapun.
Masih rapi dalam ingatan kita bahwa Indonesia masa lalu memiliki citra positif sekali, dikenal masyarakat internasional sebagai negara damai dan harmonis, kekayaan alam yang melimpah dan hubungan antar agama yang rukun. Citra itu memudar dengan berbagai peristiwa yang menjadi headline news dunia, mulai dari krisis moneter yang berkepanjangan sampai pada terorisme, demonstrasi, kerusuhan, korupsi dan pelanggaran HAM yang multi dan beragam.
Tahun 2002, ada sebuah buku menarik yang ditulis oleh dua belas sarjana terkemuka dan diedit oleh Freek Colombijn and J Thomas Linbald. Buku berjudul The Roots of Violence in Indonesia memaparkan data-data historis yang mengantarkan pada sebuah kesimpulan bahwa “Indonesia adalah negara yang penuh dengan kekerasan dan berbudaya kekerasan.”
Kesimpulan ini mungkin saja mengalami overgeneralisasi dengan mengenyampingkan fakta-fakta lain yang menunjuk pada arah yang berbeda, yakni keberaturan, keserasian dan kerukunan di beberapa daerah di nusantara ini. Tetapi kesimpulan ini tidak sepenuhnya salah ketika melihat, mendengar dan membaca berita yang bertebaran secara bebas di media massa sampai saat ini tentang caci maki antarpolitisi, kekerasan atau bentrok antar kelompok masyarakat dan agama, dan lain sebagainya.
Kita tak perlu berang dan mencaci maki buku tersebut maupun para penulisnya. Yang perlu dilakukan adalah menunjukkan bukti dalam prilaku nyata bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beretika, beradab dan beragama sebagai encounter terhadap buku itu. Karena sesungguhnya, berang dan caci-maki tanpa adanya respons obyektif adalah salah satu bentuk dari ketidakberdayaan psikologis dan intelektual.
Menjaga citra positif bangsa adalah tugas dan kewajiban segenap anak bangsa yang telah makan, minum dan bernafas dengan udara Indonesia ini. Kalaulah pada masa lalu telah terekam sejarah yang bisa lagi dihapus, yakni wujudnya kekerasan, kerusuhan, dan bentuk social disorder lainnya, sesungguhnya itu menjadi sebuah tantangan untuk mewujudkan sebuah bentuk masyarakat berbangsa yang beradab, beretika dan berdaulat sebagaimana dicita-citakan founding fathers negeri ini.
Tahun 2014 harus menjadi tahun optimisme. Optimisme sejati lahir dari hati yang paling dalam yang beralaskan kemapanan fakultas mental dan spiritual. Tak ada yang meragukan potensi alam yang akan dijadikan penopang material keberlanjutan pembangunan negeri ini, tapi sangat banyak yang sepakat untuk mengatakan bahwa sumber daya manusia masih butuh peningkatan yang serius.
Secara kuantitatif, jumlah sarjana memang meningkat mulai dari lulusan S1, S2 sampai S3. Tetapi secara kualitatif masih banyak dipertanyakan mengingat banyaknya pelanggaran besar di negeri ini seperti suap dan korupsi dilakukan oleh para sarjana, praktisi pendidikan dan bahkan professor.
Peningkatan dunia pendidikan harus terus berlanjut, tetapi pembinaan mental spiritual yang dilaksanakan oleh lembaga non-formal seperti pondok pesantren, lembaga-lembaga kemasyarakat dan organisasi sosial keagamaan layak mendapatkan perhatian lebih baik.
Kecerdasan intelektual yang tidak disertai kecerdasan mental spiritual hanya akan melahirkan orang-orang yang rakus, individualistik dan tak berperasaan, bukan orang yang mau berbagi dan siap berkorban demi kebahagiaan bersama.
Perhatian yang utuh akan sistem pendidikan yang sinergis yang menekankan bukan hanya pada kemampuan anak bangsa membaca teks dan berhitung angka melainkan juga kemampuan membaca konteks (alam dan lingkungan). Sekaligus menghitung kerangka hidup bersama menjadi tanggung jawab bersama.
Keluarga merupakan basis utama yang memiliki peran paling dominan mengarahkan dan membina pendidikan setiap anggota keluarganya, sekolah menjadi lembaga kedua yang berperan menanamkan dan menjabarkan nilai-nilai. Sementara itu, lingkungan masyarakat akan menjadi “sekolah dan laboratorium terbuka” untuk semuanya.
Negara secara otoritatif berberan besar untuk menjamin kesalingterkaitan tiga hal tersebut di atas secara positif. Sangat diharapkan bahwa pemimpin dan anggota legislatif yang akan terpilih di 2014 ini untuk periode lima tahun ke depan adalah mereka yang memiliki mata yang tak buta, telinga yang tak tuli, hati yang tak keruh dan pikiran yang tak kotor. Akhirnya, semuanya kembali pada kecerdasan dan kecermatan rakyat sebagai pemilih. [mdr]
Pembacaan atas potensi positif yang dimiliki dan evaluasi kritis atas kesalahan atau kekurangan yang terjadi pada masa lalu perlu dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan “jatuh pada lobang yang sama” pada masa yang akan datang.
Dalam bahasa agama, evaluasi kritis ini disebut dengan istilah muhasabah yang bermakna mendeteksi kekurangan diri (self detection for our own impurities). Muhasabah ini berteman akrab dengan mujahadah yang bermakna usaha keras untuk bangkit dan memperoleh yang terbaik; tak mungkin yang satu berhasil tanpa yang lainnya, baik dalam konteks pengembangan diri secara personal maupun mengembangan bangsa dan negara secara komunal.
Tahun 2013 baru saja berlalu dengan segala warna-warninya yang tak semuanya indah. Mengikuti kaidah kehidupan yang mengajarkan keberpasangan elemen hidup seperti siang dan malam, putih dan hitam serta gelap dan terang, catatan para pengamat di berbagai bidang menunjukkan sisi positif dan negatif yang terekam sepanjang 2013 itu.
Dominasi cacatan positif atas catatan negatif tentu saja akan melahirkan optimisme pada 2014 ini, sebagaimana dominasi sebaliknya akan melahirkan pesimisme. Dominasi ini bukan hanya dilihat dari sisi kuantitas melainkan juga kualitas. Membaca segala peristiwa sepanjang 2013 di negeri kita ini, manakah yang paling mungkin lahir di benak dan jiwa kebanyakan anak bangsa, optimisme atau pesimisme?
Sebagai umat yang beragama, yang memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa, sikap pesimis atau putus asa adalah aib yang harus dihindari. Sementara sikap optimis harus senantiasa dibangkitkan dengan sebuah kesadaran bahwa apabila semua yang terjadi dievaluasi dan diambil hikmahnya dan yang direncanakan dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ada, pasti terbuka jalan keluar dari masalah menuju kesuksesan yang diharapkan.
Betapapun banyak pengamat yang dengan kemampuan forecasting-nya pesimis dengan masa depan, anak bangsa harus tetap optimis. Kata penyair, “mendung esok hari tidak boleh merusak indahnya cuaca hari ini, karena mendung esok hari bisa jadi tampak indah berubah wujud menjadi pelangi.”
Tentu saja optimisme harus dibarengi dengan upaya konstruktif memperbaiki citra dan rencana guna menghapus keraguan akan masa depan. Abilitas dan kapabilitas pemimpin merupakan syarat yang utama agar mampu menggerakkan kembali rasa dan karsa masyarakat umum yang tengah mengalami defisit kepercayaan pada pemerintah.
Pagelaran panggung politik 2014 dengan agenda pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sungguh menjadi pertaruhan besar bersama yakni mewujudkan mimpi atau mengancurkannya, meraih kembali citra yang hilang atau hidup berbangsa dan bernegara tanpa citra apapun.
Masih rapi dalam ingatan kita bahwa Indonesia masa lalu memiliki citra positif sekali, dikenal masyarakat internasional sebagai negara damai dan harmonis, kekayaan alam yang melimpah dan hubungan antar agama yang rukun. Citra itu memudar dengan berbagai peristiwa yang menjadi headline news dunia, mulai dari krisis moneter yang berkepanjangan sampai pada terorisme, demonstrasi, kerusuhan, korupsi dan pelanggaran HAM yang multi dan beragam.
Tahun 2002, ada sebuah buku menarik yang ditulis oleh dua belas sarjana terkemuka dan diedit oleh Freek Colombijn and J Thomas Linbald. Buku berjudul The Roots of Violence in Indonesia memaparkan data-data historis yang mengantarkan pada sebuah kesimpulan bahwa “Indonesia adalah negara yang penuh dengan kekerasan dan berbudaya kekerasan.”
Kesimpulan ini mungkin saja mengalami overgeneralisasi dengan mengenyampingkan fakta-fakta lain yang menunjuk pada arah yang berbeda, yakni keberaturan, keserasian dan kerukunan di beberapa daerah di nusantara ini. Tetapi kesimpulan ini tidak sepenuhnya salah ketika melihat, mendengar dan membaca berita yang bertebaran secara bebas di media massa sampai saat ini tentang caci maki antarpolitisi, kekerasan atau bentrok antar kelompok masyarakat dan agama, dan lain sebagainya.
Kita tak perlu berang dan mencaci maki buku tersebut maupun para penulisnya. Yang perlu dilakukan adalah menunjukkan bukti dalam prilaku nyata bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beretika, beradab dan beragama sebagai encounter terhadap buku itu. Karena sesungguhnya, berang dan caci-maki tanpa adanya respons obyektif adalah salah satu bentuk dari ketidakberdayaan psikologis dan intelektual.
Menjaga citra positif bangsa adalah tugas dan kewajiban segenap anak bangsa yang telah makan, minum dan bernafas dengan udara Indonesia ini. Kalaulah pada masa lalu telah terekam sejarah yang bisa lagi dihapus, yakni wujudnya kekerasan, kerusuhan, dan bentuk social disorder lainnya, sesungguhnya itu menjadi sebuah tantangan untuk mewujudkan sebuah bentuk masyarakat berbangsa yang beradab, beretika dan berdaulat sebagaimana dicita-citakan founding fathers negeri ini.
Tahun 2014 harus menjadi tahun optimisme. Optimisme sejati lahir dari hati yang paling dalam yang beralaskan kemapanan fakultas mental dan spiritual. Tak ada yang meragukan potensi alam yang akan dijadikan penopang material keberlanjutan pembangunan negeri ini, tapi sangat banyak yang sepakat untuk mengatakan bahwa sumber daya manusia masih butuh peningkatan yang serius.
Secara kuantitatif, jumlah sarjana memang meningkat mulai dari lulusan S1, S2 sampai S3. Tetapi secara kualitatif masih banyak dipertanyakan mengingat banyaknya pelanggaran besar di negeri ini seperti suap dan korupsi dilakukan oleh para sarjana, praktisi pendidikan dan bahkan professor.
Peningkatan dunia pendidikan harus terus berlanjut, tetapi pembinaan mental spiritual yang dilaksanakan oleh lembaga non-formal seperti pondok pesantren, lembaga-lembaga kemasyarakat dan organisasi sosial keagamaan layak mendapatkan perhatian lebih baik.
Kecerdasan intelektual yang tidak disertai kecerdasan mental spiritual hanya akan melahirkan orang-orang yang rakus, individualistik dan tak berperasaan, bukan orang yang mau berbagi dan siap berkorban demi kebahagiaan bersama.
Perhatian yang utuh akan sistem pendidikan yang sinergis yang menekankan bukan hanya pada kemampuan anak bangsa membaca teks dan berhitung angka melainkan juga kemampuan membaca konteks (alam dan lingkungan). Sekaligus menghitung kerangka hidup bersama menjadi tanggung jawab bersama.
Keluarga merupakan basis utama yang memiliki peran paling dominan mengarahkan dan membina pendidikan setiap anggota keluarganya, sekolah menjadi lembaga kedua yang berperan menanamkan dan menjabarkan nilai-nilai. Sementara itu, lingkungan masyarakat akan menjadi “sekolah dan laboratorium terbuka” untuk semuanya.
Negara secara otoritatif berberan besar untuk menjamin kesalingterkaitan tiga hal tersebut di atas secara positif. Sangat diharapkan bahwa pemimpin dan anggota legislatif yang akan terpilih di 2014 ini untuk periode lima tahun ke depan adalah mereka yang memiliki mata yang tak buta, telinga yang tak tuli, hati yang tak keruh dan pikiran yang tak kotor. Akhirnya, semuanya kembali pada kecerdasan dan kecermatan rakyat sebagai pemilih. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar