BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 14 Agustus 2015

Waryono Siap Dipancung Jika Terima Uang Rudi Rubiandini

RMOL. Sidang bekas Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karno kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin. Dalam sidang tersebut terpapar, Waryono memiliki harta berlimpah.

Waryono yang dihadirkan sebagai terdakwa mengakui, dirinya punya kekayaan menca­pai puluhan miliar rupiah. Dia menyebutkan, salah satunya dari tanah yang dimilikinya.

Hal itu terungkap dari pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Fitroh Rohcahyanto yang mencecar asal usul kekayaan Waryono. Saat ditanya berapa total harta yang dimilikinya, Waryono menjawab, "Rp 39 miliar."

Jaksa juga mengonfirmasi mengenai 220 sertipikat tanah milik Waryono yang dimasukkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Namun, Waryono tak dapat merincinya.

"Tidak ingat betul. Seingat saya di atas 100 sertipikat. Saya sama rekan-rekan saya punya peternakan ayam sejak tahun 1982," aku Waryono.

Jaksa Fitroh menilai, Waryono tidak jujur soal kepemilikan ser­tifikat tanah tersebut. Pasalnya, kata dia, dalam catatan LHKPN di KPK tertulis jelas, Waryono melaporkan kepemilikan 220 sertipikat tanah.

"Biarkan dia tidak menjawab jujur. Soalnya, dalam LHKPN, dia tercatat melaporkan sertifikat tanah dengan total 220 sertifikat dan harta Rp 41 miliar," ucap jaksa Fitroh.

Kecurigaan jaksa berlan­jut, terkait melonjaknya harta kekayaan Waryono. Namun, Waryono mengatakan bahwa kekayaannya bertambah seiring kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). "Sebetulnya, luasnya segitu-gitu saja, hanya terpen­garuh dari kenaikan NJOP," elak Waryono.

Soal uang yang diduga diteri­manya dari bekas Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini, juga tidak diakui Waryono. Bahkan dirinya menyatakan, siap dikutuk jika terima satu persen uang Rudi. "Satu lembar kalau ada uang Rudi, saya bilang siap dipancung, terkutuklah saya," ucap Waryono.

Jaksa KPK menanyakan, hal itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, dalam surat dakwaan, Waryono diduga menerima uang sebesar 284 ribu dolar AS dan 50 ribu dolar AS dari Rudi. Uang terse­but disinyalir berkaitan dengan pembahasan RAPBN tahun ang­garan 2013 Kementerian ESDM di Komisi VII DPR.

Lebih lanjut, Waryono mengaku memang pernah menukarkan uang 50 ribu dolar AS. Dia ber­kata, uang pecahan dolar AS itu merupakan hasil kerja kerasnya selama menjabat sebagai Sekjen ESDM.

"Sekitar Rp 500 jutaan, sekitar 50 ribu dolar AS, Rp 1 miliar pernah. Tapi saya lupa. Pendapatan dari honor-honor sama komisaris, itu kan besar sekali," papar Waryono.

Waryono didakwa melakukan perbuatan melawan hukum, yak­ni memerintahkan pengumpulan dana untuk membiayai kegiatan pada Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM yang tidak dibiayai APBN.

Atas perbuatannya itu, dia didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 11.124.736.447 (Rp 11,1 miliar).

Terkait perbuatan itu, Waryono diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1, juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Pada dakwaan kedua, Waryono didakwa telah memberikan suap sebesar USD 140 ribu kepada Sutan Bhatoegana selaku Ketua Komisi VII DPR, perbuatan Waryono tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a subsdair Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan pada dakwaan ketiga, Waryono didakwa telah menerima gratifikasi berupa uang sebesar USD 284.862 dan USD 50.000. Perbuatan terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kilas Balik
Tenaga Ahli SKK Migas Ngaku Serahkan Tas Kertas ke Kabiro Keuangan ESDM
Bekas Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini mengakui pernah menyerahkan 150.000 dolar Amerika Serikat untuk Waryono Karno selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Mei 2013. Menurut Rudi, uang itu permintaan Waryono.

Hal itu diungkapkan Rudi Rubiandini saat menjadi saksi dalam perkara suap pembahasan APBN Perubahan Tahun Anggaran 2013 antara Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR dengan terdakwa Waryono Karno di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (5/8).

Rudi yang saat ini menjalani hukuman, setelah divonis bersalah melakukan korupsi dan pencucian uang, mengatakan, permintaan uang dari Waryono terkait dengan pembahasan APBN-P Tahun Anggaran 2013 antara Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR. Namun, Rudi mengaku tak tahu bagaimana penggunaan dana 150.000 dolar AS itu oleh Waryono.

Atas kesaksian Waryono tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Yadyn lalu menga­jukan pertanyaan kepada Rudi, "Anda mendapatkan uangnya dari mana."

Rudi menjawab, ia menerima uang itu dari Gerhard Rumeser yang saat itu menjabat Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas. "Gerhard Rumeser dapat uangnya dari mana?" tanya Yadyn lagi. "Tidak tahu," jawab Rudi.

Rudi mengatakan, begitu menerima uang dari Gerhard, dia langsung menitipkan ke­pada sekretarisnya, Tri Kusuma Lidya. Lidya kemudian meminta karyawan SKK Migas bernama Hermawan untuk menyerahkan ke pihak Kementerian ESDM.

Hakim Ketua Artha Theresia bertanya, mengapa Rudi se­laku Kepala SKK Migas harus memberikan uang untuk ke­pentingan Kementerian ESDM. "Karena saya diminta oleh Pak Waryono," jawab Rudi.

Menanggapi keterangan itu, Waryono membantah dirinya pernah meminta uang kepada Rudi. "Saya tidak mungkin meminta uang kepada Pak Rudi yang pangkatnya lebih tinggi dari saya," kata Waryono, yang juga membantah menerima uang 150.000 dolar AS tersebut.

Namun, dalam persidangan sebelumnya terungkap bahwa uang 150.000 dolar AS itu, setelah sampai kepada Waryono, diserahkan kepada Sutan Bhatoegana untuk dibagi-bagikan kepada Komisi VII DPR.

Saksi Hardiono selaku tenaga ahli SKK Migas mengaku pernah menyerahkan titipan berupa paper bag (tas kertas) untuk Waryono melalui Didi Dwi Sutrisnohadi selaku Kepala Biro Keuangan Kementerian ESDM.

Didi juga mengakui pernah menerima titipan uang untuk Waryono. Bahkan, uang dihitung di depan Waryono. Saat dihitung, nilainya 140.000 dolar AS. Uang tersebut lalu dibagi-bagi ke dalam amplop, masing-masing 7.500 dolar AS untuk pimpinan Komisi VII DPR, 2.500 dolar AS untuk masing-masing anggota Komisi VII, dan 2.500 dolar AS untuk Sekretariat Komisi VII. Amplop-amplop itu diberi kode P untuk pimpinan, Auntuk ang­gota, dan S untuk sekretariat.

Didi kemudian menghubungi tenaga ahli Sutan, Iryanto Muchyi, untuk mengambil titi­pan uang yang ditaruh dalam paper bag. Kepada Iryanto, Didi mengatakan agar titipan uang tersebut diberikan kepada Sutan.

Waryono juga diduga memerintahkan pengutipan 20 persen anggaran yang bersumber dari APBN untuk seluruh kegiatan di bawah satuan kerja (satker) Setjen Kementerian ESDM. Uang itu digunakan sebagai da­na kegiatan-kegiatan dan dana operasional menteri (DOM) Jero Wacik yang tidak bersum­ber dari APBN.

Hal tersebut diungkapkan bekas Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) sekaligus bekas Kepala Biro Perencanaan Kementerian ESDM Ego Syahrial yang sempat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan Waryono di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Ego Syahrial mengatakan, saat menjabat Kapusdatin, dirinya pernah didatangi Didi Dwi Sutrisno yang waktu itu menjabat Kepala Biro Keuangan Kementerian ESDM bersama staf Biro Keuangan Parliuangan Simatupang.

"Pak Sekjen bilang ada titi­pan kegiatan sosialisasi hemat energi, harap ditempatkan di Pusdatin," ucap Ego.

Perlu Perbaikan Sistem Pengawasan Sektor Migas
Firdaus Ilyas, Aktivis ICW
Praktik korupsi di sektor minyak dan gas (migas) meru­pakan problem serius yang harus diusut tuntas dan perlu perbaikan sistem.

Menurut aktivis LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas, pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama (KKS) Migas di Indonesia mesti diperbaiki. Terlebih, ini adalah Industri yang menopang hampir 30 persen dari penerimaan negara.

"Jangan hanya kasusnya yang diusut, tapi sistemnya juga diperbaiki agar kejadian serupa tidak terulang," pintanya.

Ilyas mengatakan, SKK Migas minim pengawasan. Sehingga, rawan penyimpangan pada proses pemberian kon­trak, biaya produksi dan cost recovery, serta penjualan minyak mentah bagian negara.

Dia menambahkan, dugaan suap yang berkaitan dengan perusahaan trader minyak tersebut, sangat erat kaitannya dengan kewenangan SKK Migas untuk menunjuk pihak ketiga dalam penjualan minyak bagian negara dalam kontrak bagi hasil migas.

"Khususnya minyak men­tah dan kondensat yang tidak diolah di dalam negeri oleh Pertamina," ujar Ilyas.

Sambung Ilyas, proses perdagangan minyak mentah di sektor hulu migas, bisa dinilai tertutup. Mulai dari proses jual beli sampai kepada penyalurannya.

Dia pun curiga, hal tersebut menjadi indikasi ada yang tidak beres dalam praktik jual beli migas di dalam negeri yang kerap dimanfaatkan oknumtidak bertanggung jawab untuk mengeruk pundi-pundi keka­yaan dengan cara kotor.

Jika proses penunjukan pihak ketiga saja rawan disuap, maka tidak menutup kemung­kinan dalam proses jual belinya rawan korupsi yang merugikan keuangan negara.

"Karena mengurangi potensi penerimaan yang seharusnya masuk ke rekening negara," tuntas Ilyas.

Bisnis Triliunan Rawan Kebocoran
Almuzzammil Yusuf, Anggota Komisi III DPR
Politisi PKS Almuzzamil Yusuf mengatakan, maraknya korupsi di sektor migas disebabkan nilai bisnis ini mencapai triliunan rupiah. Sehingga, sek­tor tersebut rawan kebocoran.

Menurutnya, nilai perdagan­gan BBM di Indonesia untuk kebutuhan industri, transpor­tasi, dan rumah tangga, baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi, mencapai ratusan triliun.

Parahnya lagi, kata dia, pengaturan dari hulu ke hilir di­lakukan lebih dari satu koridor, sehingga minim pengawasan.

"Hal itulah yang diman­faatkan sindikat yang terlibat secara langsung dan tidak lang­sung dalam industri migas," sinyalirnya.

Anggota Komisi III ini menambahkan, modus yang dilakukan antara lain mengam­bil kebijakan yang memaksi­malkan profit sindikat dalam pengelolaan migas.

Kontraktor swasta pun, curiganya, bukan tak mungkin ada yang menempuh berbagai macam upaya dalam mema­nipulasi produksi, dana cost recovery untuk memaksimal­kan penerimaan mereka.

Hal tersebut diperparah lemahnya kontrol negara terhadap sektor migas yang me­nyebabkan perusahaan-perusa­haan swasta jauh dari kontrol masyarakat.

Bahkan, curiganya, ada aparat negara yang justru menjadi­kan pelanggaran, kecurangan, manipulasi kontraktor dan pelaku usaha migas, mulai dari hulu sampai ke hilir, sebagai ajang pemerasan.

"Sedangkan rakyat memba­yar mahal minyak dan gas yang harganya terus naik. Hal itu dibayar atas hilangnya kedaul­atan rakyat terhadap kekayaan alam, dan harga atas penyerahan diri pada kekuasaan sindikat," tuntasnya. ***

Tidak ada komentar: