BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 10 Februari 2012

Denny Indrayana: Saya Tetap Fokus Jalankan Tugas yang Diberikan SBY

RMOL.Denny Indrayana mengaku semakin semangat menjalankan tugasnya sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia setelah dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
“Ke depan saya tetap fokus men­jalankan tugas yang diberikan  Ba­pak Presiden SBY,” ujar Den­ny Indrayana, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, Selasa (7/2).
Seperti diketahui, Denny Indra­yana dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Senin (6/2) di Balai Senat Gedung Pusat UGM, Yogyakarta.
Acara tersebut dihadiri Wakil Presiden Boediono, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, Menko Polhukam Djoko Su­yanto, Ketua KPK Abraham Sa­mad, Wakil KPK Busyro Mu­qod­das, Menkumham Amir Syam­suddin, Ketua DPR Mar­zuki Alie, Ketua MK Mahfud MD, Ketua Umum Partai Demo­krat Anas Urbaningrum, dan Ketua PPATK M Yusuf.
Denny Indrayana selanjutnya me­ngatakan, saat pengukuhan itu merasa hari istimewa. Sebab, ba­nyak undangan yang hadir dan keluarganya pun lengkap men­dampingi.
Berikut kutipan selengkapnya:
Tugas sebagai Wakil Men­kum­­ham begitu berjubel, ke­napa Anda menerima jabatan guru besar itu?
Sebenarnya Surat Keputusan saya menjadi guru besar itu sudah keluar bulan Agustus 2010, tapi belum dikukuhkan saja. Ini arti­nya saya sudah menjadi guru be­sar sebelum menjadi Wakil Men­kumham.
Apa bisa Anda membagi wak­­tu untuk mengajar dan men­­jalankan tugas Wakil Men­kumham?
Itu bisa. Saya tetap melanjut­kan  sebagai dosen di UGM. Tapi tentunya di waktu yang tidak meng­­ganggu aktivitas sebagai Wakil Menkumham.
Ah, apa itu tidak merepot­kan?
Saya mengajar di UGM untuk S2 dan S3 hukum tata negara. Itu kan tidak rutin karena tugas wakil menteri yang menyita waktu tenaga dan pikiran.
Bagaimana perasaan Anda setelah dikukuhkan?
Perasaan saya cenderung mulai biasa karena Surat Keputusan saya menjadi guru besar itu sudah keluar bulan Agustus 2010. Saat  menerima SK itu lebih terasa bahagianya, meskipun kemarin (Senin 6/2) tetap menjadi hari yang istimewa. Sebab, banyak yang hadir dan keluarga lengkap.
Kenapa Anda menjelaskan sis­tem presidensial saat ber­pidato?
Yang saya pidatokan mengenai adonan sistem presidensial yang ada dalam negara demokratis, yang harus memiliki tiga unsur. Yaitu, kewenangan konstitusional yang cukup, dukungan politik harus mayoritas dari parlemen, dan kontrol yang efektif serta konstruktif. Tiga adonan itu yang bisa melahirkan sistem presi­densial yang efektif.
Apa saat ini adonan itu su­dah pas?
Pasca reformasi, para presiden punya tantangan yang berbeda, kewenangan di undang-undang lebih sedikit, dukungan politik tidak bisa membangun mayoritas mutlak, dan kontrol hadir dari semua lini. Tantangan sekarang, bagaimana menghadirkan sistem presidensial yang tetap jauh dari penyakit yang saya sebut pa­radoks.
Sebab, di satu sisi legitimasi­nya sangat kuat, di sisi lain kewe­nangannya terbatas dan duku­ngan politiknya tidak mayoritas sederhana. Itu menghadirkan gap antara aspirasi, ekspektasi, hara­pan dan realisasi.
Bagaimana dukungan parle­men bagi pemerintah?
Ada tiga jenis relasi parlemen dengan presiden. Pertama, relasi konstruktif, saling kontrol bukan untuk menjatuhkan tapi untuk mengoreksi kesalahan bagi kemajuan bersama.
Kedua, relasi konfrontatif, apa saja yang dilakukan presiden, akan ditanggapi negatif oleh par­lemen. Ketiga, relasi kolutif, tidak ada daya kritis, apa saja kata pre­siden, parlemen yes.
Yang dijalankan sekarang?
Saat ini, parlemen terkadang yes, terkadang no. Namun tetap harus ada pembenahan mendasar, supaya terarah kepada yang konstruktif.
Apa yang perlu disempur­na­kan?
Banyak. Misalnya kualitas dan kuantitas partai. Kuantitas partai politik diarahkan lebih sederhana agar polarisasi kepentingan tidak terlalu menggangu proses kon­solidasi demokrasi. Secara kua­litas, semangat partai politik ber­sih dan anti korupsi harus segera direalisasikan.
Apa bisa menjamin penye­der­­­hanaan partai itu bisa mem­buat efektif?
Sistem presidensial akan lebih compatible dengan sistem multi­partai sederhana. Amerika Serikat menggunakan multipartai, de­ngan sistem presidensial yang berdiri di atas dua partai utama, yaitu republik dan demokrat. Jadi penyederhanaan partai bisa membantu efektifitas sistem presidensial. Tentu partai yang de­mokratis dan anti korupsi.
Bagaimana dengan tekanan publik?
Tekanan publik oke saja. Itu ba­­gian dari konsekuensi demo­krasi. Kalau tidak ada itu, berarti pe­merintahannya otoriter. [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar: