INILAH.COM, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad belum genap dua bulan memimpin lembaga antikorupsi itu. Namun gebrakannya telah mengembailkan marwah KPK di depan publik. Langkah Abraham harus didukung oleh semua pihak.
Mengenakan kopiah berwarna putih, baju lengan panjang warna biru tua, Jumat (3/2/2012) siang lalu, Ketua KPK Abraham Samad mengumumkan penetapan tersangka politikus Partai Demokrat Angelina Sondakh dalam kasus suap wisma atlet, Jakabaring, Sumatera Selatan.
Tak ada ketegangan menggelayuti wajah Abraham yang membiarkan kumis dan jenggotnya memanjang itu. Dia tampak santai mengumumkan momentum penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Padahal, nama yang ia umumkan sebagai tersangka merupakan petinggi partai penguasa di negeri ini yakni Partai Demokrat. "Kita tidak akan berhenti pada penetapan AS (Angelian Sondakh) pada hari ini. Insya Allah kasus ini akan kita kembangkan lebih jauh," janji Abraham.
Abraham yang tampil sendirian tanpa didampingi empat komisioner KPK lainnya, termasuk Juru Bicara KPK Johan Budi S.P menepis anggapan bila pimpinan KPK tidak kompak. Hanya saja, Abraham mengakui di internal komisioner KPK terjadi perbedaan pendapat. "Tidak ada perpecahan, yang ada perbedaan pendapat," tepis Abraham menjawab anggapan perpecahan di internal KPK.
Penegasan ini juga menepis rumor yang sepekan sebelumnya beredar luas ke publik terkait perpecahan internal pimpinan KPK dalam menetapkan Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum dalam kasus Wisma Atlet.
Dalam rumor tersebut disebutkan, posisi Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja setuju penetapan dua politikus Partai Demokrat dijadikan tersangka. Sedangkan Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas tidak setuju penetapan tersangka dua politikus Partai Demokrat itu. Adapun Zulkarnaen mengambil posisi abstain alias tak bersikap.
Abraham menegaskan antarpimpinan KPK kompak. Ia mengibaratkan, hubungan para pimpinan KPK seperti perangko. Bagi Abraham, demi bangsa dan negara dalam agenda pemberantasan korupsi, para pimpinan KPK harus kompak. "Ini (penetapan AS tersangka) keputusan kolektif dan kolegial. Terserah asumsi yang berkembang," tegas Abraham.
Abraham yang dalam seleksi Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK mendapat rangking lima ini sejak awal sebenarnya tak banyak mendapat perhitungan dari banyak pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat antikorupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW).
Saat uji kelayakan dan kepatutan capim KPK akhir November tahun lalu, Abraham berkomitmen akan mundur dari posisinya jika dalam setahun tidak bisa menorehkan prestasi dalam pemberantasan korupsi. "Satu tahun kalau tidak bisa berbuat apa-apa, saya akan mundur dengan sendirinya," janji Abraham.
Namun, dalam praktiknya, tak genap dua bulan berkantor di KPK, sejumlah pekerjaan rumah era KPK jilid II telah ia rampungkan. Setidaknya penetapan Miranda S Goeltom dan Angelina Sondakh menjadi simbol, kepemimpinan Abraham Samad di KPK tak bisa dipandang sebelah mata.
Dengan cara Abraham ini, ikhtiar untuk mengembalikan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang benar-benar terbebas dari intervensi kekuasaan baik legislatif maupun eksekutif dapat diandalkan. Setidaknya stigma ini melekat di KPK jilid II lalu. Akibatnya, berbagai kasus yang terkait dengan pusat kekuasaan, jalan di tempat.
Riset Lembaga Survei Indoensia (LSI) pada 8-17 Desember 2011 lalu mengungkapkan hanya 38,5 persen responden yang menilai KPK sebagai lembaga bersih. Poin ini jauh di bawah lembaga lainnya seperti TNI (57,2 persen), Presiden (51,0 persen), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (39,3 persen).
LSI dalam surveinya juga menanyakan ke responden terkait seberapa baik atau buruk KPK dalam menyeret koruptor ke pengadilan? Hasilnya cukup mengejutkan. Karena pada riset terakhir itu hanya 49 persen publik yang menilai KPK mampu menyeret koruptor ke pengadilan.
Padahal sebelumnya, publik menilai KPK berkinerja baik. Seperti dalam riset periode Desember 2010 sebesar 61 persen, Desember 2009 mencapai 66 persen, dan Desember 2008 sebesar 65 persen.
Oleh karenanya, langkah Abraham Samad yang meruntuhkan mitos KPK tersandera oleh politik, setidaknya terjawab dengan serangkaian penetepan tersangka nama-nama yang selama ini diyakini sulit untuk dijerat. "Boleh juga langkag Abraham Samad. Dalam waktu 1,5 bulan menetapkan tersangka Miranda dan Anggie. Padahal dua nama ini selama ini belum tersentuh oleh KPK," kata anggota Komisi Hukum DPR Martin Hutabarat.
Meski demikian, Abraham Samad dan pimpinan KPK lainnya harus tetap dipantau semua pihak. Jalan dan niatnya jangan sampai melenceng. Jangan pula gebrakan memberantasan korupsi hanya upaya meng-entertain kelompok tertentu. Ini sama saja menyerahkan KPK pada serigala yang berbeda, bila sebelumnya KPK diduga tersandera oleh pimpinannya sendiri. [mdr]
Mengenakan kopiah berwarna putih, baju lengan panjang warna biru tua, Jumat (3/2/2012) siang lalu, Ketua KPK Abraham Samad mengumumkan penetapan tersangka politikus Partai Demokrat Angelina Sondakh dalam kasus suap wisma atlet, Jakabaring, Sumatera Selatan.
Tak ada ketegangan menggelayuti wajah Abraham yang membiarkan kumis dan jenggotnya memanjang itu. Dia tampak santai mengumumkan momentum penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Padahal, nama yang ia umumkan sebagai tersangka merupakan petinggi partai penguasa di negeri ini yakni Partai Demokrat. "Kita tidak akan berhenti pada penetapan AS (Angelian Sondakh) pada hari ini. Insya Allah kasus ini akan kita kembangkan lebih jauh," janji Abraham.
Abraham yang tampil sendirian tanpa didampingi empat komisioner KPK lainnya, termasuk Juru Bicara KPK Johan Budi S.P menepis anggapan bila pimpinan KPK tidak kompak. Hanya saja, Abraham mengakui di internal komisioner KPK terjadi perbedaan pendapat. "Tidak ada perpecahan, yang ada perbedaan pendapat," tepis Abraham menjawab anggapan perpecahan di internal KPK.
Penegasan ini juga menepis rumor yang sepekan sebelumnya beredar luas ke publik terkait perpecahan internal pimpinan KPK dalam menetapkan Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum dalam kasus Wisma Atlet.
Dalam rumor tersebut disebutkan, posisi Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja setuju penetapan dua politikus Partai Demokrat dijadikan tersangka. Sedangkan Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas tidak setuju penetapan tersangka dua politikus Partai Demokrat itu. Adapun Zulkarnaen mengambil posisi abstain alias tak bersikap.
Abraham menegaskan antarpimpinan KPK kompak. Ia mengibaratkan, hubungan para pimpinan KPK seperti perangko. Bagi Abraham, demi bangsa dan negara dalam agenda pemberantasan korupsi, para pimpinan KPK harus kompak. "Ini (penetapan AS tersangka) keputusan kolektif dan kolegial. Terserah asumsi yang berkembang," tegas Abraham.
Abraham yang dalam seleksi Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK mendapat rangking lima ini sejak awal sebenarnya tak banyak mendapat perhitungan dari banyak pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat antikorupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW).
Saat uji kelayakan dan kepatutan capim KPK akhir November tahun lalu, Abraham berkomitmen akan mundur dari posisinya jika dalam setahun tidak bisa menorehkan prestasi dalam pemberantasan korupsi. "Satu tahun kalau tidak bisa berbuat apa-apa, saya akan mundur dengan sendirinya," janji Abraham.
Namun, dalam praktiknya, tak genap dua bulan berkantor di KPK, sejumlah pekerjaan rumah era KPK jilid II telah ia rampungkan. Setidaknya penetapan Miranda S Goeltom dan Angelina Sondakh menjadi simbol, kepemimpinan Abraham Samad di KPK tak bisa dipandang sebelah mata.
Dengan cara Abraham ini, ikhtiar untuk mengembalikan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang benar-benar terbebas dari intervensi kekuasaan baik legislatif maupun eksekutif dapat diandalkan. Setidaknya stigma ini melekat di KPK jilid II lalu. Akibatnya, berbagai kasus yang terkait dengan pusat kekuasaan, jalan di tempat.
Riset Lembaga Survei Indoensia (LSI) pada 8-17 Desember 2011 lalu mengungkapkan hanya 38,5 persen responden yang menilai KPK sebagai lembaga bersih. Poin ini jauh di bawah lembaga lainnya seperti TNI (57,2 persen), Presiden (51,0 persen), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (39,3 persen).
LSI dalam surveinya juga menanyakan ke responden terkait seberapa baik atau buruk KPK dalam menyeret koruptor ke pengadilan? Hasilnya cukup mengejutkan. Karena pada riset terakhir itu hanya 49 persen publik yang menilai KPK mampu menyeret koruptor ke pengadilan.
Padahal sebelumnya, publik menilai KPK berkinerja baik. Seperti dalam riset periode Desember 2010 sebesar 61 persen, Desember 2009 mencapai 66 persen, dan Desember 2008 sebesar 65 persen.
Oleh karenanya, langkah Abraham Samad yang meruntuhkan mitos KPK tersandera oleh politik, setidaknya terjawab dengan serangkaian penetepan tersangka nama-nama yang selama ini diyakini sulit untuk dijerat. "Boleh juga langkag Abraham Samad. Dalam waktu 1,5 bulan menetapkan tersangka Miranda dan Anggie. Padahal dua nama ini selama ini belum tersentuh oleh KPK," kata anggota Komisi Hukum DPR Martin Hutabarat.
Meski demikian, Abraham Samad dan pimpinan KPK lainnya harus tetap dipantau semua pihak. Jalan dan niatnya jangan sampai melenceng. Jangan pula gebrakan memberantasan korupsi hanya upaya meng-entertain kelompok tertentu. Ini sama saja menyerahkan KPK pada serigala yang berbeda, bila sebelumnya KPK diduga tersandera oleh pimpinannya sendiri. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar