BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Rabu, 09 Januari 2013

UU Peradilan Anak Bertentangan dengan Kode Etik Hakim Internasional

Salmah Muslimah - detikNews

 Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang gugatan UU Peradilan Anak dengan agenda mendengarkan keterangan ahli. Guru Besar Universitas Padjajaran (Unpadj) Bandung, Prof Romli Atmasasmita mengatakan UU tersebut bertentangan dengan konvensi kode etik hakim internasional atau dikenal Bangalore Principles.

Menurutnya, UU No 12/2012 tentang Sistem Peradilan Anak (SPPA) dianggap sejalan dengan ketentuan konvensi anak. Namun konveksi anak hanya bersifat regulatif semata.

"Tidak ada satupun ketentuan konvensi tersebut yang mewajibkan setiap negara untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap aparatur hukum yang telah melaksanakan kewajiban memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana," kata Romli saat memberikan keterangan ahli di ruang sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (9/1/2012).

Romli mengatakan, konvensi hanya meletakan kewajiban setiap negara untuk menyusun UU nasional sesuai dengan maksud dan tujuan serta konsisten dengan konvensi tersebut. Dalam konteks ini maka implementasi setiap konvensi internasional termasuk Konvensi Hak Anak dan kesepakatan internasional lainnya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan konvensi internasional. Salah satunya seperti Bangalore Principles.

"Hasil kesepakatan konvensi Bangalore tidak ada sama sekali berkehendak untuk memberikan ancaman hukuman atau sanksi pidana terhadap pelaku kekuasaan kehakiman termasuk hakim kecuali sanksi pelaggaran kode etik," ucap Romli.

Bangalore Principles berisi enam prinsip penting yang menjadi kode etik dan perilaku hakim di dunia yang dihasilkan dalam konperensi internasional di Bangalore pada tahun 2001. Keenam prinsip yang disepakati itu yaitu independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan sopan santun (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence).

Sebelumnya, para hakim mengajukan judicial review UU No 11/2012 karena merasa UU tersebut bisa mengkriminalisasi hakim. Sebab, salah satu pasal di UU tersebut, memuat sanksi penjara dan denda senilai ratusan juta rupiah, jika para hakim berbuat kesalahan dalam dunia peradilan anak.

Tidak ada komentar: