Oleh :
Mohammad Arief Hidayat
VIVA.co.id - Mantan
Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim,
mencermati dunia penerbangan Indonesia menyusul sejumlah kecelakaan
pesawat terbang di Indonesia.
Chappy mengingatkan secara khusus berbagai peristiwa kecelakaan
pesawat, terutama sekali musibah serupa yang terjadi beruntun dalam
waktu yang berdekatan. Pertama, pesawat Komala Air yang mengalami
kecelakaan di Lapangan Terbang perintis Ninia, Yahukimo, Papua, pada 12
Agustus 2015. Kedua, pesawat Trigana Air yang jatuh di Kampung Bape,
perbatasan Distrik Oksob dengan Seram, Kabupaten Pegunungan Bintang,
Papua, pada 16 Agustus 2015.
Kecelakaan itu, kata Chappy, hanya selisih empat hari. Korbannya
tak sedikit. Belum lagi dihitung kecelakaan pesawat militer Hercules
yang jatuh di Medan, Sumatera Utara, pada 30 Juni 2015.
“Kecelakaan terjadi beruntun dan dalam waktu yang sangat dekat
(beberapa hari saja). Dapat disimpulkan kemudian bahwa telah terjadi
sesuatu yang sangat-amat serius dalam dunia penerbangan kita,” kata
Chappy seperti dikutip dari laman pribadinya, Chappyhakim.com, pada Kamis, 20 Agustus 2015.
Menurutnya, Federal Aviation Administration (FAA), otoritas
penerbangan Amerika, menempatkan Indonesia dalam kelompok negara yang
un-safe atau tak aman untuk penerbangan. Penerbangan di Indonesia
dinilai tidak memenuhi persyaratan keselamatan terbang internasional,
seperti yang diberlakukan International Civil Aviation Organization
(ICAO).
Sejak 2007, Otoritas Penerbangan Uni Eropa telah melarang seluruh
maskapai penerbangan Indonesia masuk ke wilayah udara Uni Eropa.
Belakangan mereka memberikan izin kepada beberapa maskapai yang
dipandang sudah dapat memenuhi standar keselamatan terbang
internasional.
ICAO kemudian mendapatkan lebih 120 temuan yang menunjukkan bahwa
Indonesia tidak memenuhi persyaratan dari standar keselamatan terbang.
“Inilah sebenarnya yang dipandang sebagai atau menjadi penyebab utama,”
katanya.
SDM dan infrastruktur
Tim Nasional Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi
bentukan Presiden kala itu menemukan sejumlah fakta mengejutkan. Di
antaranya, ternyata banyak jabatan pada institusi penyelenggara
penerbangan yang diduduki orang yang sama sekali tidak memiliki
kompetensi; tidak atau kurang mempunyai latar belakang pengetahuan
mengenai penerbangan.
“Hal ini terbukti di belakang hari, antara lain, tentang airport
(bandara) yang berkembang melebihi sampai tiga kali kapasitasnya dan
mengakibatkan keterlambatan jadwal penerbangan sampai 12 jam,” ujar
Chappy.
Temuan lain adalah otoritas penerbangan Indonesia terlalu mudah
memberikan izin. Di sisi lain kurang tegas menjatuhkan sanksi bagi
pelanggar aturan standar keselamatan terbang.
“Maskapai menjadi banyak sekali. Demikian pula jumlah pesawat
terbang yang dibeli/disewa berdatangan terus tanpa kesan ada pembatasan
yang diperlukan bagi kemampuan untuk fasilitas yang tersedia dan atau
juga kegiatan pengawasan,” katanya.
Akibat semua itu, Chappy menambahkan, Indonesia mengalami
kekurangan banyak sekali sumber daya manusia (SDM) penerbangan dan
ketertinggalan fasilitas infrastrukturnya. “Ini semua menjadi cukup
untuk menjelaskan tentang begitu terbukanya peluang terjadinya
kecelakaan,” katanya.
Situasi tak baik itu didukung tuntutan pasar angkutan udara yang
terus meningkat telah menggoda banyak orang dalam usaha meraih
keuntungan. “Maka terciptalah peluang bisnis yang berhadapan dengan
kekurangan SDM dan infrastruktur.
Gaji inspektor
Ada pula catatan ICAO yang menunjuk betapa inspektor penerbangan
Indonesia sangat kurang dari segi kuantitas dan kualitas. Ditambah
bayaran alias gaji yang diterima para inspektor itu dinilai sangat jauh
dari yang seharusnya.
“Di sini menjadi sangat terang benderang, apa yang akan terjadi
bila kondisi tersebut dibiarkan berjalan seperti biasa,” katanya,
menganalisis.
Kenyataan itu menggambarkan dunia penerbangan Indonesia selama
10-15 tahun terakhir. Kementerian Perhubungan kini tengah bekerja keras
dan berusaha untuk dapat mengatasi kondisi yang sangat serius itu.
Mereka berhadapan dengan tantangan yang tidak mudah.
Menurutnya, tanpa bantuan dari seluruh pemangku kepentingan di
bidang penerbangan nasional serta koordinasi lintas kementerian, sulit
sekali Menteri Perhubungan dapat berhasil mengukir ulang kisah
suksesnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar