Oleh : Daurina Lestari, Rizki Aulia Rachman, Romys Binekasri
VIVA.co.id - Pasar ekuitas global pada Senin, 24 Agustus 2015, bergejolak lagi. Nilai tukar mata uang di banyak negara terus melemah, termasuk di Indonesia. Saham-saham di seluruh dunia terjun bebas akibat kepanikan yang melingkupi pasar ekuitas akan kekhawatiran krisis ekonomi global setelah menyusutnya aktivitas industri di China.
Para investor melakukan akhir jual saham di bursa Asia pada perdagangan awal pekan ini, setelah Wall Street ditutup anjlok hampir empat persen akhir pekan lalu.
Indeks saham Asia, dipimpin oleh China, mengalami kerugian paling
besar dan terburuk sejak 2007. Indeks saham Asia jatuh lebih dari empat
persen dan indeks China terkapar lebih dari delapan persen. Runtuhnya
bursa saham dunia ini pun menjadi "Black Monday" bagi para investor.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia pun
turut terimbas gejolak pasar ekuitas dunia. IHSG anjlok lebih dari empat
persen pada penutupan Senin. Mata uang rupiah juga melemah menyentuh
Rp14.000 per dolar AS di pasar spot antarbank.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, menilai
pemerintah sudah tidak dapat melakukan apa pun menghadapi kekuatan dolar
Amerika Serikat. Kekuatan dolar membuat rupiah terpuruk ke level
Rp14.000. Dan, pelemahan mata uang terjadi secara global.
"Tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah secara drastis terhadap
menguatnya dolar. Semua melemah terhadap dolar Amerika Serikat," ujarnya
kepada VIVA.co.id, Senin, 24 Agustus 2015.
Menurutnya, fenomena saat ini mirip pada krisis pada tahun 2008
silam, pada saat mata uang Paman Sam menjadi super dolar. "Malaysia juga
kan, ringgit sekarang kan juga turun dua persen," tuturnya.
David menyayangkan seharusnya pemerintah telah mengantisipasi
dengan melakukan reformasi struktural sejak lama. Pemerintah tak bisa
melakukan apapun untuk meredam rupiah agar tidak anjlok lebih dalam
lantaran ekspor kita melemah, begitu juga dengan transaksi saham maupun
valas.
"Yang dilakukan sebenarnya dua atau tiga tahun lalu ya, reformasi
struktural harusnya dijalankan. Tapi sayangnya kita selalu berpuas diri.
Tidak menyiapkan diri akhirnya begini," tuturnya.
Dia memperkirakan rupiah masih akan terus mengalami pelemahan lebih
dalam mengingat sentimen negatif yang terus menyerang rupiah hingga
akhirnya makin tertekan. Dia mengharapkan kenaikkan suku bunga acuan
Bank Sentral AS, yang diperkirakan pada September tahun ini, akan
membuat ketidakpastian investor berakhir.
Sementara, analis LBP Enterprise, Lucky Bayu menyebut, anjloknya
bursa saham Indonesia saat ini berasal dari dalam negeri bukan luar
negeri. Saat ini masyarakat belum merasakan hasil dari resuffle Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Joko Widodo .
"Masyarakat bukan ingin melihat perubahan dalam jangka pendek. Tapi
paling tidak ada sentimen dan apresiasi pemerintah dalam menyikapi
pasar," ujarnya.
Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memperbolehkan emiten
untuk melakukan pembelian saham kembali (buyback), untuk meredam
anjloknya saham perusahaan, tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) dinilai ikut menjadi sentimen negatif bagi IHSG.
"Buyback itu berikan dampak negatif. Karena buyback pengakuan OJK,
bahwa mereka khawatir akan ada pelemahan lebih lanjut. Ini malah
membuat para pelaku pasar panik. Dan ini menjadi pemicu anjlok ya IHSG
hari ini," ujarnya.
Belum Panik
Sementara Bank Indonesia tidak khawatir dengan bergejolak dan
kepanikan yang terjadi di pasar ekuitas saat ini. Gubenur Bank Indonesia
(BI), Agus Martowardojo, selalu mengatakan bahwa kondisi ekonomi saat
ini berbeda dengan krisis ekonomi pada 1998.
Diutarakannya, ketika itu inflasi mencapai 98 persen atau meningkat
60 persen. Sementara inflasi tahun ini di bawah 4,5 persen.
Ditegaskannya, ia tidak panik dengan kondisi saat ini.
"Jadi secara umum kondisi fundamental kita lebih baik. Kita cuma
mesti menjaga agar jangan ada pesimisme, ada sentimen, oleh karena itu
pertemuan hari ini mengundang pengusaha, para menteri, kami juga
diundang, dan juga Otoritas Jasa Kuangan, ini komposisi yang baik. Tidak
(panik), ini justru kita lihat semuanya koordinasi dengan baik," kata
Agus seusai rapat dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Senin 24
Agustus 2015.
Ditambahkan Agus, rupiah tertekan karena aksi jual investor (sell-off)
di pasar modal global sehingga berimbas kepada Indonesia. Saat ini,
kondisi pelemahan rupiah dipengaruhi kondisi dunia yang penuh
ketidakpastian yang dipengaruhi oleh perekonomian AS dan China, serta
turunnya harga komoditas dan minyak.
Namun, para pengusaha mulai panik melihat kondisi anjloknya
saham-saham dalam negeri dan semakin terpuruknya nilai mata uang rupiah.
Direktur Utama PT Jababeka, SD Darmono mengatakan bisnis properti ikut
terkena dampak pada melemahnya rupiah, yaitu adanya efek depresiasi
rupiah yang telah mengganggu arus kas perseroan. Diutarakannya, nilai
rupiah saat ini masih aman bagi perusahaan karena pihaknya telah
melakukan lindung nilai (hedging) di posisi Rp14.800 per dolar AS.
"Sekitar US$100-150 juta sudah di-hedge di Rp14.800. Jadi, itu aman dan itu waktu hedge-nya
Rp12.000. Dengan posisi rupiah saat ini, kami masih aman. Tetapi kalau
lebih dari Rp14.800, semua bisa rusak," ujar Darmono.
Darmono berharap rupiah tidak semakin merosot, dan mengharapkan
peran aktif pemerintah dan BI untuk menjaga stabilitas rupiah dan
kondisi moneter dalam negeri. "Cepat bersatu mengambil jalan yang cepat,
agar dunia usaha bisa merespons positif," ujarnya
Ada Optimisme
Direktur Keuangan PT Bank Internasional Indonesia (BII),
Thilagavathy Nadason, pun sudah melakukan hedging sehingga tidak membuat
pihaknya khawatir jika rupiah menembus hingga di level
Rp15.000-Rp16.000 per dolar AS. Disamping itu ia juga tidak terlalu
khawatir lantaran adanya peraturan Bank Indonesia (PBI) yang diyakini
dapat mampu meredam pelemahan rupiah.
"Dengan PBI yang mewajibkan rupiah untuk lokal. Kebanyakan dolar AS
sekarang ditangani korporasi yang besar dan juga BUMN. Jadi saya tidak
khawatir," ujarnya di Jakarta, Senin, 24 Agustus 2015.
Thila menyampaikan, masyarakat harus yakin bahwa pemerintah akan
menangani perusahaan yang berisiko terhadap menguatnya mata uang negara
Paman Sam tersebut.
"Penting lagi agar semua orang, pelaku bisnis jangan panik karena
kita tahun ini dan 2008 jauh berbeda. Kita tidak ke sana, tetapi saya
takut orang panik," tuturnya.
Selain itu, ia juga mengaku bahwa pihaknya telah melakukan stressed test
pada posisi Rp14.500 per dolar. Sebagai antisipasi, selanjutnya akan
melakukan penghitungan ulang karena sudah mendekati batas tersebut.
"Waktu itu kesimpulan bisnis, modal dan dana cukup. Sekarang ranah
sudah 14 ribuan rupiah. Waktu itu skenario sampai Rp14,500 per dolar AS.
Sekarang kami hitung ulang," ujarnya.
Optimisme juga dinyatakan oleh lembaga penelitian Institute for
Development of Economic and Finance (INDEF). Direktur Indef, Enny Sri
Hartati menilai, melemahnya rupiah saat ini bukan tidak mungkin akan
membawa kondisi ekonomi Indonesia akan seperti tahun 1998.
Situasi saat ini bahkan bisa turut memukul pelaku-pelaku Usaha
Menengah Kecil Mandiri (UMKM). "Kalau di tahun 1998, saat itu ekonomi
UMKM masih bisa tumbuh. Tapi, untuk saat ini, rupiah melemah UMKM juga
ikut terperosok," katanya.
Dia mengingatkan pemerintah akan risiko ekonomi global. Dia meminta
pemerintah tidak lambat dan melakukan langkah mitigasi yang kongkrit
untuk meredam pelemahan rupiah.
"Kalau sampai (rupiah) di angka Rp 15 ribu itu sangat
dikhawatirkan. Akan tetapi, UMKM saat ini juga tidak terlalu rentan
terhadap depresisasi, asal cepat terjadi pemulihan daya beli
masyarakat," kata dia. (ren)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar