VIVAnews - Belakangan ini PT Pertamina (Persero) mengalami penjarahan BBM di pipa-pipa penyaluran wilayah Sumatera.
Menurut Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, penjarahan ini juga berpotensi mengganggu pasokan BBM di wilayah Sumatera, karena Pertamina jadi harus menghentikan untuk sementara aliran minyak di pipa-pipa tersebut. Lebih gawat lagi, selain mengganggu terget lifting minyak yang telah di tetapkan negara, aksi kriminal ini juga amat berbahaya karena bisa mengakibatkan ledakan dan kebakaran hebat.
Menurut Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, penjarahan ini juga berpotensi mengganggu pasokan BBM di wilayah Sumatera, karena Pertamina jadi harus menghentikan untuk sementara aliran minyak di pipa-pipa tersebut. Lebih gawat lagi, selain mengganggu terget lifting minyak yang telah di tetapkan negara, aksi kriminal ini juga amat berbahaya karena bisa mengakibatkan ledakan dan kebakaran hebat.
Berikut petikan wawancara VIVAnews dengan Karen, salah satu dari 50 pebisnis wanita paling tangguh dunia versi Fortune,
di sela-sela kunjungan dinasnya ke Jambi, 26 Juli 2013 lalu, tentang
masalah tersebut dan rencana pengembangan Pertamina ke depan:
Sebenarnya seberapa serius masalah penjarahan BBM di pipa-pipa milik Pertamina?
Yang mencemaskan kami, penjarahan ini sebetulnya sudah berlangsung sejak 2010 lalu. Dalam kurun waktu tiga tahun itu penjarahan BBM ini telah merugikan Pertamina sekitar Rp400 miliar.
Tahun ini, dalam jangka waktu enam bulan saja, aksi penjarahan telah merugikan Pertamina hampir Rp280 miliar. Kami sepakat ini bukan semata soal kerugian tapi bisa membahayakan warga.
Kami mengharapkan bantuan masayarakat dan aparat pemerintah, baik di daerah maupun pusat, karena ini merupakan obyek vital nasional. Kami tidak ingin persoalan ini merembet ke pipa-pipa kontraktor asing.
Permintaan ini sudah pernah diajukan ke aparat keamanan?
Sudah, sejak 2010 lalu. Sudah dilakukan berkali-kali, tapi hingga kini belum ada tindakan yang signifikan. Kali ini kami ingin memberikan shock therapy kepada para penjarah. Kami hentikan aliran BBM di pipa-pipa tersebut. Ini memang butuh tindakan ekstrem supaya para penjarah kapok. Kami harus melawan mereka.
Penghentian aliran BBM di pipa-pipa tersebut bukankah merugikan Pertamina?
Memang. Tapi tidak apa-apa, tindakan ini harus kami lakukan. Sebagai korporasi, yang dilihat kan tidak keuntungan semata. Yang penting ke depan akan lebih baik bagi Pertamina.
Secara korporasi, Pertamina bisa masuk Fortune 500 pada peringkat 122. Bisa Anda jelaskan bagaimana hal itu bisa tercapai?
Ada beberapa hal yang membuat suatu perusahaan bisa masuk Fortune 500. Kestabilan negara bisa menjadi suatu faktor. Tapi faktor yang terpenting adalah perusahaan ini lima tahun berturut-turut bisa meraih laba dan terus menujukkan tren yang meningkat. Pertamina di-review selama lima tahun terakhir khususnya dalam hal laba.
Sebagai CEO, Anda menargetkan Pertamina pada peringkat berapa?
Begini, di Asia sudah ada Shinocem Group (China) pada peringkat 119 dan Petronas Malaysia pada peringkat 75. Saya menargetkan Pertamina harus mampu meraih peringkat 50 pada Fortune 500 di tahun 2025.
Saya di tahun itu sudah pensiun, tapi prinsipnya sudah dibuat, frame-nya sudah dibuat, dan juga target-targetnya. Untuk meraih posisi tersebut Pertamina harus mampu memproduksi 2,2 juta barrel oil equivalent pada 2025. Saat ini baru mencapai 451 juta barrel oil equivalent. Jadi, masih pada level seperempat dari total produksi yang kami targetkan.
Bagaimana strategi yang akan Anda lakukan untuk mencapai itu?
Prinsipnya ada tiga pilar utama. Pertama, Pertamina harus menjadi pemimpin dalam bisnis inti yang sekarang. Untuk itu Pertamina harus mampu memproduksi 2,2 juta barrel oil equivalent dengan penguasaan pasar domestik 50 persen.
Kami akan mengembangkan industri gas terintegrasi dari hulu ke hilir dengan infrastruktur Trans Sumatera dan Trans Jawa. Jadi, semua hasil gas dari lapangan Pertamina akan di jual ke anak perusahaan, PT Patragas. Tidak seperti selama ini, dijual ke PT Perusahaan Gas Negara.
Selain itu Pertamina akan mempertahankan posisi market share di BBM industri dan pelumas sebesar 50 persen.
Kedua, dengan pertumbuhan bisnis-bisnis baru. Pertamina harus menjadi perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia dengan market share 35 persen.
Selain itu, Pertamina akan mengembangan industri, biofuel, panas bumi (geotermal) dan menjadi salah satu perusahaan pembangkit listrik terbesar (Independent Power Plan/IPP) di Indonesia dengan kapasitas 3-5 gigawatt.
Ketiga, meningkatkan efisiensi dalam public service obligation (mengelola BBM bersubsidi) dengan market share 60 persen, mengoptimalkan infrastruktur LPG dan dalam bidang perkapalan Pertamina akan mengembangkan model pelayanan pihak ketiga.
Anda tentu menargetkan posisi 50 di Fortune 500 dengan asumsi Petronas dan perusahaan lain tidak akan diam saja. Anda yakin mampu mengalahkan Petronas?
Ya, betul Petronas tentu tidak akan diam saja. Tapi, bagi Pertamina itu masalah di kapitasi saja. Asal kapitasinya tidak diganggu saya yakin bisa.
Sebenarnya seberapa serius masalah penjarahan BBM di pipa-pipa milik Pertamina?
Yang mencemaskan kami, penjarahan ini sebetulnya sudah berlangsung sejak 2010 lalu. Dalam kurun waktu tiga tahun itu penjarahan BBM ini telah merugikan Pertamina sekitar Rp400 miliar.
Tahun ini, dalam jangka waktu enam bulan saja, aksi penjarahan telah merugikan Pertamina hampir Rp280 miliar. Kami sepakat ini bukan semata soal kerugian tapi bisa membahayakan warga.
Kami mengharapkan bantuan masayarakat dan aparat pemerintah, baik di daerah maupun pusat, karena ini merupakan obyek vital nasional. Kami tidak ingin persoalan ini merembet ke pipa-pipa kontraktor asing.
Permintaan ini sudah pernah diajukan ke aparat keamanan?
Sudah, sejak 2010 lalu. Sudah dilakukan berkali-kali, tapi hingga kini belum ada tindakan yang signifikan. Kali ini kami ingin memberikan shock therapy kepada para penjarah. Kami hentikan aliran BBM di pipa-pipa tersebut. Ini memang butuh tindakan ekstrem supaya para penjarah kapok. Kami harus melawan mereka.
Penghentian aliran BBM di pipa-pipa tersebut bukankah merugikan Pertamina?
Memang. Tapi tidak apa-apa, tindakan ini harus kami lakukan. Sebagai korporasi, yang dilihat kan tidak keuntungan semata. Yang penting ke depan akan lebih baik bagi Pertamina.
Secara korporasi, Pertamina bisa masuk Fortune 500 pada peringkat 122. Bisa Anda jelaskan bagaimana hal itu bisa tercapai?
Ada beberapa hal yang membuat suatu perusahaan bisa masuk Fortune 500. Kestabilan negara bisa menjadi suatu faktor. Tapi faktor yang terpenting adalah perusahaan ini lima tahun berturut-turut bisa meraih laba dan terus menujukkan tren yang meningkat. Pertamina di-review selama lima tahun terakhir khususnya dalam hal laba.
Sebagai CEO, Anda menargetkan Pertamina pada peringkat berapa?
Begini, di Asia sudah ada Shinocem Group (China) pada peringkat 119 dan Petronas Malaysia pada peringkat 75. Saya menargetkan Pertamina harus mampu meraih peringkat 50 pada Fortune 500 di tahun 2025.
Saya di tahun itu sudah pensiun, tapi prinsipnya sudah dibuat, frame-nya sudah dibuat, dan juga target-targetnya. Untuk meraih posisi tersebut Pertamina harus mampu memproduksi 2,2 juta barrel oil equivalent pada 2025. Saat ini baru mencapai 451 juta barrel oil equivalent. Jadi, masih pada level seperempat dari total produksi yang kami targetkan.
Bagaimana strategi yang akan Anda lakukan untuk mencapai itu?
Prinsipnya ada tiga pilar utama. Pertama, Pertamina harus menjadi pemimpin dalam bisnis inti yang sekarang. Untuk itu Pertamina harus mampu memproduksi 2,2 juta barrel oil equivalent dengan penguasaan pasar domestik 50 persen.
Kami akan mengembangkan industri gas terintegrasi dari hulu ke hilir dengan infrastruktur Trans Sumatera dan Trans Jawa. Jadi, semua hasil gas dari lapangan Pertamina akan di jual ke anak perusahaan, PT Patragas. Tidak seperti selama ini, dijual ke PT Perusahaan Gas Negara.
Selain itu Pertamina akan mempertahankan posisi market share di BBM industri dan pelumas sebesar 50 persen.
Kedua, dengan pertumbuhan bisnis-bisnis baru. Pertamina harus menjadi perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia dengan market share 35 persen.
Selain itu, Pertamina akan mengembangan industri, biofuel, panas bumi (geotermal) dan menjadi salah satu perusahaan pembangkit listrik terbesar (Independent Power Plan/IPP) di Indonesia dengan kapasitas 3-5 gigawatt.
Ketiga, meningkatkan efisiensi dalam public service obligation (mengelola BBM bersubsidi) dengan market share 60 persen, mengoptimalkan infrastruktur LPG dan dalam bidang perkapalan Pertamina akan mengembangkan model pelayanan pihak ketiga.
Anda tentu menargetkan posisi 50 di Fortune 500 dengan asumsi Petronas dan perusahaan lain tidak akan diam saja. Anda yakin mampu mengalahkan Petronas?
Ya, betul Petronas tentu tidak akan diam saja. Tapi, bagi Pertamina itu masalah di kapitasi saja. Asal kapitasinya tidak diganggu saya yakin bisa.
Kapitasi tidak diganggu itu maksudnya bisnis Pertamina boleh untung. Artinya, bisnis Pertamina harus marked to market
(minyak dijual dengan harga pasar, tidak ada subisdi) dan tidak ada
sinergi BUMN, yang "mengakibatkan Pertamina merugi". Saya yakin bisa.
Itu semua kan sama dengan perlakuan pemerintah Malaysia terhadap Petronas. Dan kalau bisa, CEO Pertamina tidak bisa dipanggil siapapun, kecuali oleh Presiden.
Jadi, selama ini banyak pihak yang memanggil Dirut Pertamina?
Lha, sebagai pembantu umum bagaimana sih? Hahaha...
Banyak pihak meragukan kemampuan Pertamina mengambil alih Blok Mahakam dari Total. Argumennya, Pertamina belum pernah mengerjakan proyek besar sendirian. Selain itu, ketika mengambil alih West Madura Offshore (WMO) dari Kodeco, produksinya malah turun. Tanggapan Anda?
Begini, justru apa yang terjadi d WMO jangan sampai terjadi di Blok Mahakam. Kenapa? Kalau saya berpikir sebagai orang Total maka jika hingga 2017 pemerintah belum memberi kepastian, saya akan hentikan semua investasi di Blok Mahakam. Toh, Total tidak akan mendapat manfaatnya setelah 2017. Pada saat dia pergi maka sumur ditutup semua.
Orang berpikir saat sumur dibuka kembali, katakanlah oleh Pertamina, maka minyak akan langsung mengalir lagi. Faktanya tidak begitu. Sekali sumur ditutup, maka harus ada investasi lagi untuk membuat sumur itu mengalir kembali. Itulah yang terjadi di WMO.
Itu semua kan sama dengan perlakuan pemerintah Malaysia terhadap Petronas. Dan kalau bisa, CEO Pertamina tidak bisa dipanggil siapapun, kecuali oleh Presiden.
Jadi, selama ini banyak pihak yang memanggil Dirut Pertamina?
Lha, sebagai pembantu umum bagaimana sih? Hahaha...
Banyak pihak meragukan kemampuan Pertamina mengambil alih Blok Mahakam dari Total. Argumennya, Pertamina belum pernah mengerjakan proyek besar sendirian. Selain itu, ketika mengambil alih West Madura Offshore (WMO) dari Kodeco, produksinya malah turun. Tanggapan Anda?
Begini, justru apa yang terjadi d WMO jangan sampai terjadi di Blok Mahakam. Kenapa? Kalau saya berpikir sebagai orang Total maka jika hingga 2017 pemerintah belum memberi kepastian, saya akan hentikan semua investasi di Blok Mahakam. Toh, Total tidak akan mendapat manfaatnya setelah 2017. Pada saat dia pergi maka sumur ditutup semua.
Orang berpikir saat sumur dibuka kembali, katakanlah oleh Pertamina, maka minyak akan langsung mengalir lagi. Faktanya tidak begitu. Sekali sumur ditutup, maka harus ada investasi lagi untuk membuat sumur itu mengalir kembali. Itulah yang terjadi di WMO.
Apakah pada
kontrak-kontrak selama ini, posisi Indonesia sedemikian lemahnya
sehingga kontraktor asing boleh-boleh saja "menurunkan kualitas" dengan
sengaja? Bukankah semua biaya akan diklaim lagi dalam bentuk cost recovery?
Masalahnya cost recovery hanya sampai 2017. Kalau Total mengeluarkan biaya sekarang kan dia bisa mendapat manfaatnya setelah 2017. Jadi, pasti dia akan berpikir: lebih baik saya perkecil investasi saya.
Masalah WMO sebenarnya bukan masalah teknis. Itu karena tidak diputuskan secara cepat saja. Sebenarnya, sebelum setahun sebelum diambil alih Pertamina, kami sudah berniat untuk sole risk (risiko ditanggung sendiri), untuk top-up. Tapi, tidak dikasih sama pemerintah.
Produksi suatu lapangan kan tergantung pengeboran sumur-sumur baru, jadi perlu top-up untuk mengantisipasi penurunan produksi secara natural.
Masalahnya cost recovery hanya sampai 2017. Kalau Total mengeluarkan biaya sekarang kan dia bisa mendapat manfaatnya setelah 2017. Jadi, pasti dia akan berpikir: lebih baik saya perkecil investasi saya.
Masalah WMO sebenarnya bukan masalah teknis. Itu karena tidak diputuskan secara cepat saja. Sebenarnya, sebelum setahun sebelum diambil alih Pertamina, kami sudah berniat untuk sole risk (risiko ditanggung sendiri), untuk top-up. Tapi, tidak dikasih sama pemerintah.
Produksi suatu lapangan kan tergantung pengeboran sumur-sumur baru, jadi perlu top-up untuk mengantisipasi penurunan produksi secara natural.
Jadi, setahun sebelum diambil alih Pertamina sudah menyadari situasi tersebut. Kami menawarkan: Pertamina saja yang menyewa rig, yang mengebor. Kalau gagal, Pertamina yang bertanggung jawab, kalau berhasil ya nanti dibayarkan.
Namun, tawaran Pertamina ditolak pemerintah. Akhirnya perundingan berlarut-larut, penyewaan rig tidak jelas dan penyewanya akhirnya pergi. Kemudian barulah diputuskan Pertamina mengambil alih secara resmi. Itulah yang menyebabkan produksi turun, karena selama setahun tidak ada kegiatan pengeboran sama sekali di sana.
Artinya, secara teknis sebetulnya Pertamina mampu?
Iya. Yang harus saya luruskan, soal teknologi sebetulnya perusahaan minyak tidak memilikinya. Teknologi pengeboran itu yang punya ya sebangsa Schlumberger, Halliburton, dan lain-lain. Perusahaan minyak hanya menyewa mereka.
Jadi, selama perusahaan minyak mampu bayar, mereka yang akan mengerjakannya. Makanya saya bingung kalau dibilang Pertamina tidak menguasai teknologinya. Lha, semua perusahaan minyak melakukan hal yang sama. Total itu punya teknologi apa?
Di Industri minyak dan gas, eksekutif perempuan sangat langka. Bagaimana Anda bisa survive, bahkan berhasil menempati posisi puncak di Pertamina?
Begini, saya pernah bekerja tapi pernah juga berhenti karena keluarga membutuhkan saya. Jangan sekali-sekali pernah berpikir bahwa posisi sebagai ibu rumah tangga merupakan posisi yang tidak terhormat. Saya bisa seperti saat sekarang karena dukungan suami dan anak-anak.
Jadi, pada saat-saat tertentu saya harus bisa memutuskan untuk berhenti. Kemarin waktu diputuskan untuk diperpanjang saya tidak mau. Saya memilih berhenti untuk menemani anak-anak saya.
Yang harus disadari, menduduki posisi seperti saya ini ada hal-hal yang harus dikorbankan. Satu, melayani suami harus dikorbankan. Terus kedua, kapan saya bisa ketemu anak-anak saya?
Terus terang saja, saya kemarin memutuskan untuk mengurus keluarga. Tapi kemudian ada kompromi, boleh mengurus keluarga sambil jadi Dirut Pertamina. Jadi, saya jadi Dirut itu sambilan, lho, utamanya ngurus keluarga... hahaha. (kd)
Namun, tawaran Pertamina ditolak pemerintah. Akhirnya perundingan berlarut-larut, penyewaan rig tidak jelas dan penyewanya akhirnya pergi. Kemudian barulah diputuskan Pertamina mengambil alih secara resmi. Itulah yang menyebabkan produksi turun, karena selama setahun tidak ada kegiatan pengeboran sama sekali di sana.
Artinya, secara teknis sebetulnya Pertamina mampu?
Iya. Yang harus saya luruskan, soal teknologi sebetulnya perusahaan minyak tidak memilikinya. Teknologi pengeboran itu yang punya ya sebangsa Schlumberger, Halliburton, dan lain-lain. Perusahaan minyak hanya menyewa mereka.
Jadi, selama perusahaan minyak mampu bayar, mereka yang akan mengerjakannya. Makanya saya bingung kalau dibilang Pertamina tidak menguasai teknologinya. Lha, semua perusahaan minyak melakukan hal yang sama. Total itu punya teknologi apa?
Di Industri minyak dan gas, eksekutif perempuan sangat langka. Bagaimana Anda bisa survive, bahkan berhasil menempati posisi puncak di Pertamina?
Begini, saya pernah bekerja tapi pernah juga berhenti karena keluarga membutuhkan saya. Jangan sekali-sekali pernah berpikir bahwa posisi sebagai ibu rumah tangga merupakan posisi yang tidak terhormat. Saya bisa seperti saat sekarang karena dukungan suami dan anak-anak.
Jadi, pada saat-saat tertentu saya harus bisa memutuskan untuk berhenti. Kemarin waktu diputuskan untuk diperpanjang saya tidak mau. Saya memilih berhenti untuk menemani anak-anak saya.
Yang harus disadari, menduduki posisi seperti saya ini ada hal-hal yang harus dikorbankan. Satu, melayani suami harus dikorbankan. Terus kedua, kapan saya bisa ketemu anak-anak saya?
Terus terang saja, saya kemarin memutuskan untuk mengurus keluarga. Tapi kemudian ada kompromi, boleh mengurus keluarga sambil jadi Dirut Pertamina. Jadi, saya jadi Dirut itu sambilan, lho, utamanya ngurus keluarga... hahaha. (kd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar