JAKARTA - Ketua Komite
Tetap Pengembangan Pusat Belanja Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
Indonesia, Handaka Santosa, meminta pemerintah dan BUMN tidak menaikkan
harga atau tarif berbagai kebutuhan masyarakat secara bersamaan.
Alasannya, hal itu bisa menurunkan daya beli masyarakat serta mengganggu industri.
"Banyak sekali yang kita khawatirkan
tentang keadaan akhir-akhir ini. Semuanya pada naik, dan akan naik.
Makanya tidak heran kalau pertumbuhan ritel tiga bulan terakhir minus
lima persen, padahal akhir tahun ditargetkan naik lima persen," ujar
Handaka Santosa kemarin (5/4).
Kenaikan beberapa kebutuhan penting
masyarakat seperti beras, BBM (bahan bakar minyak) dan LPG (Liquid
Petroleum Gas) ditambah kondisi ekonomi makro yang belum membaik telah
membuat daya beli masyarakat tertekan.
"Ini berbahaya karena pertumbuhan
ekonomi itu dasarnya dari penjualan ritel," ujar mantan Ketua Umum
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) ini.
Seharusnya kondisinya tidak seperti ini,
sebab Januari lalu upah minimum provinsi (UMP) naik sehingga daya beli
bisa meningkat. Tapi akibat harga-harga naik dan kondisi perekonomian
buruk maka daya beli malah menurun.
"Harusnya Presiden atau pemerintah
sebagai pemegang saham utama BUMN seperti Pertamina atau PLN bisa
mencegah supaya harga-harga tidak naik," tuturnya.
Sebab, lanjut Handaka, turunnya daya
beli masyarakat bisa sangat berbahaya karena membawa efek berantai yang
sangat buruk bagi pelaku industri.
"Kalau semua harga naik, bulan depan
akan ada yang naik lagi efek psikologisnya masyarakat akan mengerem
pembelian. Atau setidaknya uang dipakai untuk yang penting-penting dulu
seperti bayar sekolah dan makan," sebutnya.
Jika itu terjadi maka dampaknya akan
sangat terasa bagi pelaku industri."Efeknya panjang, orang akan menunda
beli baju. Industri TPT (tekstil dan produk tekstil) yang tadinya
produksi 1.000 baju jadi cuma 5.000 baju. Berapa karyawan yang
berpotensi dirumahkan jika itu terjadi?Sepertinya memang biasa tapi itu
bisa luar biasa dampaknya," kata dia.
Belum lagi kalau dikaitkan dengan
penjualan properti yang bisa menurun dengan efek berantainya yang juga
panjang. Dia mengambil contoh, turunnya penjualan properti bisa
berpengaruh terhadap industri semen, keramik, cat atau baja ringan.
"Bahkan penjualan furniture hingga
gorden juga bisa turun," ujar Handaka yang juga Wakil Ketua Umum Real
Estate Indonesia (REI) ini.
Oleh sebab itu, pihaknya berharap
pemerintahan Presiden Joko Widodo dan para menterinya bisa
mempertimbangkan masak-masak setiap rencana kenaikan harga.
"Saya sendiri tidak puas dengan
pemerintahan yang baru ini. Masak rupiah melemah bukannya cari solusi
malah pejabatnya ngomong ini menguntungkan dan membuat Indonesia
kompetitif," cetusnya.
Padahal kondisi ini justru membuat
pelaku usaha resah karena biaya produksi yang meningkat. Pihaknya
berharap pemerintah bisa menstabilkan rupiah.
"Yang penting itu stabil, tidak seperti
sekarang trennya naik terus diatas Rp 13.000 per dolar. Kalau pemerintah
bilang ini bagus ya kita biarkan saja, tidak usah dibantu," jelasnya. (wir/dee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar