Yudhistira Amran Saleh - detikNews
Banda Aceh - Keriput di wajahnya menandakan umur yang
tak muda lagi. Tapi usianya yang sudah menginjak 48 tahun, tak membuat
semangat Buniyati yang tinggal di Nepal kendur untuk dapat kembali ke
Tanah Air.
Buniyati berasal dari Kota Pahlawan, Surabaya, Jawa
Timur. Ia tak pernah menyangka akan tinggal di Nepal untuk waktu yang
terbilang cukup lama.
Berawal dari keinginannya untuk bekerja di
luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), ia memutuskan ikut
mendaftar di salah satu agen di Surabaya. Itu terjadi pada akhir 2008.
Selang setahun kemudian ia diberangkatkan sebagai TKI di Malaysia.
"Ya
untuk mencukupi kebutuhan saya. Di sini saya kurang (uang) terus. Suami
hanya buruh biasa dan anak saya 1 musti dicukupi kebutuhannya. Maka
saya memutuskan untuk menjadi TKI," ujar Buniyati saat berbincang santai
dengan detikcom di Lanud Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Rabu
(6/5/2015).
Sambil menyuapi kedua anaknya yang masih kecil
bernama Pande (7) dan Rajit (5), Buniyati mengatakan selama setahun
bekerja di Malaysia, ia tak pernah mendapat gaji dari majikannya. Pihak
agen pun tak bisa dihubungi untuk dimintai bantuan.
Sampai suatu
ketika di awal tahun 2010, ia memberanikan diri untuk lari dari rumah
majikannya yang letaknya di Kota Subang Jaya menuju bandara Kuala Lumpur
Internasional Airport (KLIA). Dengan bermodal uang RM (Ringgit
Malaysia) seadanya, ia mencoba peruntungan mencari tiket murah ke
Jakarta.
"Saya lupa berapa. Tapi ternyata setelah nunggu 3 jam
lebih, nggak ada tiket murah ke Jakarta. Akhirnya saya putusin buat
bermalam di bandara," lanjutnya.
Saat menunggu itulah ia didekati seorang pria yang menawarinya pekerjaan
di Nepal. Biaya perjalanan Buniyati serta visa dibiayai oleh pria yang
menghampirinya di KLIA.
Bunyati pun menikah dengan pria tersebut
pada bulan Maret. Akan tetapi, setelah sebulan berada di Nepal, Buniyati
tak kunjung mendapat pekerjaan seperti yang dijanjikan suaminya itu.
Lalu
ia berusaha sendiri mencari pekerjaan di Nepal. Malang bagi Buniyati,
baru setahun menikah, sang suami menceraikannya, dan pekerjaan pun tak
kunjung ia dapatkan.
"Pas saya lagi cari-cari kerjaan, suami saya
yang Nepal menceraikan saya. Ia janjikan saya dapat pekerjaan, namun
ternyata dia menceraikan saya. Dan saya harus membiayai kedua anak saya
yang masih kecil," ungkapnya sambil terisak.
Buniyati lantas
mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Karena keterbatasan
biaya, Buniyati tak bisa memperpanjang visa, yang artinya membuat dia
bekerja di Nepal secara ilegal.
Merasa tak punya siapa-siapa lagi
di Nepal, Buniyati memutus kembali ke Tanah Air. Namun malang bagi
Buniyati, ia tidak diizinkan meninggalkan Nepal dan harus membayar visa
ditambah dendanya sebesar $700.
Buniyati kemudian berusaha
mencari uang pinjaman ke sana dan kemari hingga akhirnya ia dapat
membayar visa beserta dendanya tersebut. Meski demikian, Buniyati tetap
tidak bisa kembali ke Tanah Air karena kasus ilegal dalam bekerja.
Hingga 5 tahun berselang, gempa mengguncang Nepal dengan kekuatan 7,9
Skala Richter (SR). Ia merasakan goncangan yang hebat ketika sedang
menyapu halaman rumahnya.
"Saya kira tadinya saya pusing.
Kebetulan saya ada migran juga. Tapi kok lama kelamaan makin kencang
goyangannya dan anginnya nakutin. Cuaca jadi gelap dan orang-orang pada
berlarian," tuturnya.
Ia langsung masuk ke dalam rumah dan
berlindung di bawah meja bersama kedua anaknya. Gempa berlangsung selama
2 menit itu membuat Buniyati gemetar seakan kiamat telah tiba.
Usai
gempa berakhir, ia langsung membawa kedua anaknya keluar dari rumah dan
bergegas menuju ke lapangan sekitar yang tak ada pohon atau bangunan
tinggi. Buniyati tinggal di Kota Baglung, sebelah barat Kota Kathmandu.
Berselang
2 menit, gempa kembali terjadi dan goncangannya semakin besar hingga
rumah-rumah di sekitar lapangan runtuh. Gempa susulan tersebut
berlangsung dalam waktu 1 menit.
"Selesai gempa itu udah sore. Sinyal nggak ada, anak saya udah nangis. Pokoknya keadaan saat itu mencekam sekali," kisahnya.
Buniyati
beserta kedua anaknya dan warga lainnya kemudian menginap di lapangan
dengan tidur beralaskan kain seadanya selama 6 hari. Awal Mei, sinyal
komunikasi mulai pulih, puluhan SMS dan missed call ia terima
Salah satu SMS tersebut berisi ajakkan untuk mengungsi ke posko evakuasi
dan penyelamatan WNI yang terdapat di Kota Kathmandu, Nepal. Akhirnya,
Buniyati dan kedua anaknya berangkat menuju Kathmandu dengan menggunakan
bus pada hari Jumat (1/5/2015).
Ia dan anaknya tiba di Kathmandu
pada pukul 16.00 WIB. Kedatangannya langsung disambut oleh perwakilan
Kementerian Luar Negeri. Lalu ia dan kedua anaknya mendaftarkan diri
sebagai WNI yang ingin kembali ke Tanah Air. Setelah usaha sekian lama
dari 2010, akhirnya Rabu (6/5), Bunyati dan kedua anaknya dapat kembali
ke Tanah Air.
Ia mengungkapkan rasa bangga terhadap Pemerintah
Indonesia yang dengan gigih mencari, membantu serta menolong WNI yang
terdampak gempa Nepal. Menurutnya, meski musibah gempa ini telah meluluh
lantakkan Nepal, dan membuat semua masyarakatnya berduka, namun ia
sangat senang karena akhirnya ia dapat kembali ke Tanah Air.
"Setelah
menunggu sekian tahun, akhirnya saya dapat menginjakkan kaki di
Jakarta, Indonesia. Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih yang
mendalam, ucapnya.
Pesawat TNI AU Boeing 737-400 A7305 lepas
landas dari Bandara Internasional Tribhuvan, Nepal membawa Bunyati dan
kedua anaknya beserta ke 26 WNI lainnya menuju Tanah Air. Sesampainya di
Lanud Halim Perdanakusuma setelah transit 2 kali di Dhaka, Bangladesh
dan Banda Aceh, Aceh, 26 WNI tersebut disambut oleh Wakil Menteri Luar
Negeri AM Fachir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar