RMOL. Sidang bekas Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karno kembali digelar di Pengadilan
Tipikor Jakarta, kemarin. Dalam sidang tersebut terpapar, Waryono
memiliki harta berlimpah.
Waryono yang dihadirkan sebagai
terdakwa mengakui, dirinya punya kekayaan mencapai puluhan miliar
rupiah. Dia menyebutkan, salah satunya dari tanah yang dimilikinya.
Hal
itu terungkap dari pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Fitroh
Rohcahyanto yang mencecar asal usul kekayaan Waryono. Saat ditanya
berapa total harta yang dimilikinya, Waryono menjawab, "Rp 39 miliar."
Jaksa
juga mengonfirmasi mengenai 220 sertipikat tanah milik Waryono yang
dimasukkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Namun, Waryono tak dapat merincinya.
"Tidak ingat betul. Seingat
saya di atas 100 sertipikat. Saya sama rekan-rekan saya punya
peternakan ayam sejak tahun 1982," aku Waryono.
Jaksa Fitroh
menilai, Waryono tidak jujur soal kepemilikan sertifikat tanah
tersebut. Pasalnya, kata dia, dalam catatan LHKPN di KPK tertulis jelas,
Waryono melaporkan kepemilikan 220 sertipikat tanah.
"Biarkan
dia tidak menjawab jujur. Soalnya, dalam LHKPN, dia tercatat melaporkan
sertifikat tanah dengan total 220 sertifikat dan harta Rp 41 miliar,"
ucap jaksa Fitroh.
Kecurigaan jaksa berlanjut, terkait
melonjaknya harta kekayaan Waryono. Namun, Waryono mengatakan bahwa
kekayaannya bertambah seiring kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
"Sebetulnya, luasnya segitu-gitu saja, hanya terpengaruh dari kenaikan
NJOP," elak Waryono.
Soal uang yang diduga diterimanya dari
bekas Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi
Rubiandini, juga tidak diakui Waryono. Bahkan dirinya menyatakan, siap
dikutuk jika terima satu persen uang Rudi. "Satu lembar kalau ada uang
Rudi, saya bilang siap dipancung, terkutuklah saya," ucap Waryono.
Jaksa
KPK menanyakan, hal itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, dalam surat
dakwaan, Waryono diduga menerima uang sebesar 284 ribu dolar AS dan 50
ribu dolar AS dari Rudi. Uang tersebut disinyalir berkaitan dengan
pembahasan RAPBN tahun anggaran 2013 Kementerian ESDM di Komisi VII
DPR.
Lebih lanjut, Waryono mengaku memang pernah menukarkan uang
50 ribu dolar AS. Dia berkata, uang pecahan dolar AS itu merupakan
hasil kerja kerasnya selama menjabat sebagai Sekjen ESDM.
"Sekitar
Rp 500 jutaan, sekitar 50 ribu dolar AS, Rp 1 miliar pernah. Tapi saya
lupa. Pendapatan dari honor-honor sama komisaris, itu kan besar sekali,"
papar Waryono.
Waryono didakwa melakukan perbuatan melawan
hukum, yakni memerintahkan pengumpulan dana untuk membiayai kegiatan
pada Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM yang tidak dibiayai APBN.
Atas perbuatannya itu, dia didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 11.124.736.447 (Rp 11,1 miliar).
Terkait
perbuatan itu, Waryono diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal
3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1, juncto Pasal 65
ayat (1) KUHPidana.
Pada dakwaan kedua, Waryono didakwa telah
memberikan suap sebesar USD 140 ribu kepada Sutan Bhatoegana selaku
Ketua Komisi VII DPR, perbuatan Waryono tersebut diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a subsdair Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan
pada dakwaan ketiga, Waryono didakwa telah menerima gratifikasi berupa
uang sebesar USD 284.862 dan USD 50.000. Perbuatan terdakwa tersebut
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kilas Balik
Tenaga Ahli SKK Migas Ngaku Serahkan Tas Kertas ke Kabiro Keuangan ESDM
Bekas
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini mengakui pernah menyerahkan 150.000
dolar Amerika Serikat untuk Waryono Karno selaku Sekretaris Jenderal
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Mei 2013. Menurut
Rudi, uang itu permintaan Waryono.
Hal itu diungkapkan Rudi
Rubiandini saat menjadi saksi dalam perkara suap pembahasan APBN
Perubahan Tahun Anggaran 2013 antara Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR
dengan terdakwa Waryono Karno di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, Rabu (5/8).
Rudi yang saat ini menjalani hukuman,
setelah divonis bersalah melakukan korupsi dan pencucian uang,
mengatakan, permintaan uang dari Waryono terkait dengan pembahasan
APBN-P Tahun Anggaran 2013 antara Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR.
Namun, Rudi mengaku tak tahu bagaimana penggunaan dana 150.000 dolar AS
itu oleh Waryono.
Atas kesaksian Waryono tersebut, Jaksa
Penuntut Umum (JPU) KPK Yadyn lalu mengajukan pertanyaan kepada Rudi,
"Anda mendapatkan uangnya dari mana."
Rudi menjawab, ia menerima
uang itu dari Gerhard Rumeser yang saat itu menjabat Deputi
Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas. "Gerhard Rumeser dapat uangnya
dari mana?" tanya Yadyn lagi. "Tidak tahu," jawab Rudi.
Rudi
mengatakan, begitu menerima uang dari Gerhard, dia langsung menitipkan
kepada sekretarisnya, Tri Kusuma Lidya. Lidya kemudian meminta karyawan
SKK Migas bernama Hermawan untuk menyerahkan ke pihak Kementerian ESDM.
Hakim Ketua Artha Theresia bertanya, mengapa Rudi selaku
Kepala SKK Migas harus memberikan uang untuk kepentingan Kementerian
ESDM. "Karena saya diminta oleh Pak Waryono," jawab Rudi.
Menanggapi
keterangan itu, Waryono membantah dirinya pernah meminta uang kepada
Rudi. "Saya tidak mungkin meminta uang kepada Pak Rudi yang pangkatnya
lebih tinggi dari saya," kata Waryono, yang juga membantah menerima uang
150.000 dolar AS tersebut.
Namun, dalam persidangan sebelumnya
terungkap bahwa uang 150.000 dolar AS itu, setelah sampai kepada
Waryono, diserahkan kepada Sutan Bhatoegana untuk dibagi-bagikan kepada
Komisi VII DPR.
Saksi Hardiono selaku tenaga ahli SKK Migas
mengaku pernah menyerahkan titipan berupa paper bag (tas kertas) untuk
Waryono melalui Didi Dwi Sutrisnohadi selaku Kepala Biro Keuangan
Kementerian ESDM.
Didi juga mengakui pernah menerima titipan uang
untuk Waryono. Bahkan, uang dihitung di depan Waryono. Saat dihitung,
nilainya 140.000 dolar AS. Uang tersebut lalu dibagi-bagi ke dalam
amplop, masing-masing 7.500 dolar AS untuk pimpinan Komisi VII DPR,
2.500 dolar AS untuk masing-masing anggota Komisi VII, dan 2.500 dolar
AS untuk Sekretariat Komisi VII. Amplop-amplop itu diberi kode P untuk
pimpinan, Auntuk anggota, dan S untuk sekretariat.
Didi
kemudian menghubungi tenaga ahli Sutan, Iryanto Muchyi, untuk mengambil
titipan uang yang ditaruh dalam paper bag. Kepada Iryanto, Didi
mengatakan agar titipan uang tersebut diberikan kepada Sutan.
Waryono
juga diduga memerintahkan pengutipan 20 persen anggaran yang bersumber
dari APBN untuk seluruh kegiatan di bawah satuan kerja (satker) Setjen
Kementerian ESDM. Uang itu digunakan sebagai dana kegiatan-kegiatan dan
dana operasional menteri (DOM) Jero Wacik yang tidak bersumber dari
APBN.
Hal tersebut diungkapkan bekas Kepala Pusat Data dan
Informasi (Kapusdatin) sekaligus bekas Kepala Biro Perencanaan
Kementerian ESDM Ego Syahrial yang sempat dihadirkan sebagai saksi dalam
sidang lanjutan Waryono di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Ego
Syahrial mengatakan, saat menjabat Kapusdatin, dirinya pernah didatangi
Didi Dwi Sutrisno yang waktu itu menjabat Kepala Biro Keuangan
Kementerian ESDM bersama staf Biro Keuangan Parliuangan Simatupang.
"Pak Sekjen bilang ada titipan kegiatan sosialisasi hemat energi, harap ditempatkan di Pusdatin," ucap Ego.
Perlu Perbaikan Sistem Pengawasan Sektor Migas
Firdaus Ilyas, Aktivis ICW
Praktik korupsi di sektor minyak dan gas (migas) merupakan problem serius yang harus diusut tuntas dan perlu perbaikan sistem.
Menurut
aktivis LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas, pengawasan
terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama (KKS) Migas di Indonesia mesti
diperbaiki. Terlebih, ini adalah Industri yang menopang hampir 30 persen
dari penerimaan negara.
"Jangan hanya kasusnya yang diusut, tapi sistemnya juga diperbaiki agar kejadian serupa tidak terulang," pintanya.
Ilyas
mengatakan, SKK Migas minim pengawasan. Sehingga, rawan penyimpangan
pada proses pemberian kontrak, biaya produksi dan cost recovery, serta
penjualan minyak mentah bagian negara.
Dia menambahkan, dugaan
suap yang berkaitan dengan perusahaan trader minyak tersebut, sangat
erat kaitannya dengan kewenangan SKK Migas untuk menunjuk pihak ketiga
dalam penjualan minyak bagian negara dalam kontrak bagi hasil migas.
"Khususnya minyak mentah dan kondensat yang tidak diolah di dalam negeri oleh Pertamina," ujar Ilyas.
Sambung
Ilyas, proses perdagangan minyak mentah di sektor hulu migas, bisa
dinilai tertutup. Mulai dari proses jual beli sampai kepada
penyalurannya.
Dia pun curiga, hal tersebut menjadi indikasi ada
yang tidak beres dalam praktik jual beli migas di dalam negeri yang
kerap dimanfaatkan oknumtidak bertanggung jawab untuk mengeruk
pundi-pundi kekayaan dengan cara kotor.
Jika proses penunjukan
pihak ketiga saja rawan disuap, maka tidak menutup kemungkinan dalam
proses jual belinya rawan korupsi yang merugikan keuangan negara.
"Karena mengurangi potensi penerimaan yang seharusnya masuk ke rekening negara," tuntas Ilyas.
Bisnis Triliunan Rawan Kebocoran
Almuzzammil Yusuf, Anggota Komisi III DPR
Politisi
PKS Almuzzamil Yusuf mengatakan, maraknya korupsi di sektor migas
disebabkan nilai bisnis ini mencapai triliunan rupiah. Sehingga, sektor
tersebut rawan kebocoran.
Menurutnya, nilai perdagangan BBM di
Indonesia untuk kebutuhan industri, transportasi, dan rumah tangga,
baik yang bersubsidi maupun tidak bersubsidi, mencapai ratusan triliun.
Parahnya lagi, kata dia, pengaturan dari hulu ke hilir dilakukan lebih dari satu koridor, sehingga minim pengawasan.
"Hal itulah yang dimanfaatkan sindikat yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam industri migas," sinyalirnya.
Anggota
Komisi III ini menambahkan, modus yang dilakukan antara lain mengambil
kebijakan yang memaksimalkan profit sindikat dalam pengelolaan migas.
Kontraktor
swasta pun, curiganya, bukan tak mungkin ada yang menempuh berbagai
macam upaya dalam memanipulasi produksi, dana cost recovery untuk
memaksimalkan penerimaan mereka.
Hal tersebut diperparah
lemahnya kontrol negara terhadap sektor migas yang menyebabkan
perusahaan-perusahaan swasta jauh dari kontrol masyarakat.
Bahkan,
curiganya, ada aparat negara yang justru menjadikan pelanggaran,
kecurangan, manipulasi kontraktor dan pelaku usaha migas, mulai dari
hulu sampai ke hilir, sebagai ajang pemerasan.
"Sedangkan rakyat
membayar mahal minyak dan gas yang harganya terus naik. Hal itu
dibayar atas hilangnya kedaulatan rakyat terhadap kekayaan alam, dan
harga atas penyerahan diri pada kekuasaan sindikat," tuntasnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar