RMOL.Pemerintah diminta menjamin pasokan gas untuk dalam negeri pada tahun 2012. Tanpa jaminan tersebut, pelan-pelan para pengusaha akan gulung tikar. Apalagi tarif listrik juga akan naik 10 persen.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengatakan, para pengusaha berharap tahun depan pasokan gas industri harus lebih baik dari tahun 2011. Saat ini pasokan gas untuk industri sangat minim dan tidak memenuhi kebutuhan industri.
“Banyak pengusaha yang mengeluhkan dan prihatin minimnya pasokan gas untuk industri dalam negeri,” katanya kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Suryo mengatakan, permintaan gas untuk industri pada 2012 diprediksi naik sebanding dengan pertumbuhan industri. Karena itu, jika pasokannya tetap sama seperti tahun ini akan berdampak pada matinya sektor industri.
Ia juga menyayangkan sikap Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) yang tetap akan melakukan ekspor gas pada 2012 dengan alasan tidak adanya receiving terminal di dalam negeri. “Ekpor itu harus dikaji dan lebih pentingkatan pasokan dalam negeri,” tegasnya.
Selanjutnya, Suryo juga mendesak pemerintah segera menyelesaikan pembangunan receiving terminal gas. Bila pemerintah tidak mampu, maka bisa diserahkan ke swasta.
Sedangkan Wakil Sekjen Asosisasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani meminta ada gebrakan yang pro dunia usaha pada 2012. “Mereka harus bisa menjamin suplai gas bagi industri yang kesulitan energi. Jangan cuma lips service,” kata Franky pada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Berdasarkan data Apindo, kata dia, kebutuhan gas 2011 Region Jawa Bagian Barat mencapai 1.500 mmscfd (million standard cubic feet per day) yang sudah kontrak 801 mmscfd dan realisasi hanya 583 mmscfd. Untuk Region Jawa Bagian Timur kebutuhan gasnya mencapai 250 mmscfd dan yang sudah kontrak 148 mmscfd. Ralisasinya baru 128 mmscfd. Lalu Sumatera Utara kebutuhan gasnya mencapai 150 mmscfd dengan kontrak 91 mmscfd dan realisasi 86 mmscfd.
Selain itu, terhambatnya pemenuhan gas industri juga disebabkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.3 tahun 2010 tentang alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri yang hanya 25 persen dari hasil produksi kontraktor sesuai dengan pasal 4 ayat 20. Akibat kekurangan tersebut, nasib 332 perusahaan dalam negeri terancam berkurang dan terhenti.
Menanggapi hal ini, pengamat energi dari ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan, keberadaan DMO (domestic market obligation) gas diyakini mampu mengurai persoalan kekurangan pasokan gas di dalam negeri.
“Permasalahannya (kisruh kekurangan gas-red) itu, dari dulu mengapa KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) lebih memilih ekspor daripada domestik, ya karena masalah harga ini. Kebijakan harga dan penerapannya perlu dibenahi kalau memang DMO gas ini mau diberlakukan secara menyeluruh,” ujarnya.
Pri menjelaskan pemerintah melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 3/2010 mewajibkan KKKS untuk menyerahkan 25 persen dari produksi gas bumi bagian kontraktor guna memenuhi keperluan dalam negeri dalam rangka DMO.
Dalam praktiknya, menurut Pri, DMO gas itu memang tidak bisa begitu saja langsung diterapkan kalau infrastruktur pendukungnya tidak ada. “Seperti yang terjadi sekarang ini, aturan DMO gas itu tidak ada artinya karena ketentuan DMO yang ada juga masih longgar, masih dengan catatan ada infrastruktur dan harus ekonomis,” urai Pri.
Dia mengatakan, keekonomian lapangan gas itu sangat bergantung pada harga jualnya. Dengan menaikkan harga gas di kepala sumur yang rata-rata masih sekitar 2,7 dolar AS per juta British thermal unit (Btu) pemerintah sebenarnya diuntungkan karena pendapatan negara juga naik, di samping kebijakan DMO bisa dijalankan secara optimal.
“Kalau tidak ada perubahan kebijakan harga, akan sangat sulit menerapkan DMO gas. Pemerintah mestinya mendukung keinginan Pertamina agar DMO diberlakukan menyeluruh karena saya melihat ada peluang untuk bisa mendapatkan pasokan gas dari dalam negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan jika impor,” tutur Pri.
Vice President Corporate Communication Pertamina Mochamad Harun mengatakan, tingginya harga minyak dunia yang diikuti lonjakan harga LNG mencapai 18 dolar AS per juta Btu, mengakibatkan kecil kemungkinan Indonesia akan mengimpor LNG tersebut dari Timur Tengah. [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar