BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 01 Desember 2011

Kelas Menengah Memang Payah?

INILAH.COM, Jakarta - Di Indonesia, kini masyarakat kelas menengah jumlahnya diperkirakan mencapai 50 juta orang. Kelas menengah dicirikan dengan adanya kepemilikan akan sumber pendapatan finansial, tercukupi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan hiburan.
Mereka memiliki rasa aman karena mempunyai stok finansial (tabungan, deposito, atau asset produktif lainnya). Kelas menengah ini berada dalam tahap pemenuhan akan “eksistensi diri”, mereka masih memiliki idealisme.
Sehingga, untuk sebagian, ada harapan terhadap kelas menengah sebagai agen perubahan. Kebutuhan mereka akan “eksistensi diri” menyebabkan kelas menengah ini masih menginginkan adanya perubahan, dan juga memiliki sumber daya untuk melakukannya, baik secara finansial, pendidikan, koneksi dan jaringan.
Melejitnya jumlah kelas menengah berdampak positif pada perdagangan kulakan, eceran serta sektor jasa lain, seperti transportasi dan telekomunikasi. Pertumbuhan yang paling terasa terjadi pada sektor perdagangan kulakan dan eceran.
Dua sektor itu menikmati investasi asing sebesar 19,4% pada 2010. Padahal, setahun sebelumnya, porsi masuknya investasi asing di sektor ini hanya 1,5% dari total investasi yang masuk. Besarnya minat investor masuk ke sektor perdagangan eceran dan kulakan tidak terlepas karena semakin membaiknya tingkat ekonomi masyarakat kelas menengah.
Dengan pendapatan yang lebih besar, kini masyarakat kelas menengah bisa mengalokasikan anggaran belanja yang lebih besar. Kaum kelas menengah kini lebih banyak membelanjakan uangnya untuk makanan dan perawatan tubuh. Tren belanja untuk produk konsumsi cepat habis atau fast moving consumers goods.
Tetapi para analis menyebut kelas menengah Indonesia adalah sebuah anomali. Kelas menengah di negara lain terbentuk secara mandiri dari hasil perjuangan, melalui kerja keras dan displin diri yang keras. Mereka terbentuk secara mandiri dan independen.
Kelas menengah Indonesia tidak demikian adanya. Mereka dibentuk bukan terbentuk, tidak mengakar ke bawah tetapi menggantung ke atas. Mereka bahkan ikut dalam persekongkolan kelas atas untuk menguras harta Negara.
Banyak di antara mereka menjadi kelas menengah karena memiliki kesempatan korupsi seperti Gayus, atau melakukan penipuan seperti penyedotan pulsa. Ada juga karena persekongkolan jahat seperti Inong Melinda Dee. Banyak juga kelas menengah politisi semacam M Nazarudin atau Angelina Sondakh, atau wanita karir macam Nunun Nurbaeti.
Akibatnya, kelas menengah menjadi sumber kegelisahan rakyat di bawah. Ah, kelas menengah kita memang payah. [berbagai sumber]

Tidak ada komentar: