BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 14 Februari 2013

Ssttt, 300 Kepala Daerah Terjerat Kasus Korupsi

Ramalan Kemendagri Selama 8 Tahun Terakhir
RMOL. Praktik korupsi di daerah semakin merajalela. Kepala daerah yang terjerat kasus hukum pun terus bertambah. Kemendagri meramalkan, hingga akhir tahun 2013 total kepala daerah yang terjerat kasus korupsi mencapai 300.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi.

Rinciannya, kata Djohan, Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Wali-kota 20 orang. Jumlah itu mereka yakini akan membengkak hingga 300 akhir tahun ini.

“Jumlah 291 tersebut sudah termasuk Gubernur RZ yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK kemarin. Saya yakin jumlahnya akan bergerak terus sampai 300 orang,” ungkap Djohermansyah kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.

Djohan membeberkan, selain kepala daerah, korupsi di daerah juga menjerat anggota parlemen. Dia mengungkapkan, anggota legislatif yang terjerat korupsi di DPRD kabupaten/kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD Provinsi 2.545.

“Jumlah itu 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia,” bebernya.

Djohan menyatakan, jumlah aparatur pemerintah di bawah kepala daerah yang terlibat korupsi juga tinggi, mencapai lebih dari 1.200 orang. Biasanya, aparatur di bawah kepala daerah ikut terlibat praktik korupsi karena terseret perbuatan kepala daerah.

“Apaatur birokrasi yang terseret jumlahnya saat ini 1.221 orang. Yang telah berstatus tersangka 185 orang, terdakwa 112 orang dan terpidana 877 orang. Sedangkan yang masih saksi mencapai 46 orang,” ungkapnya.

Berdasarkan kajian Kemendagri, kata Djohan, banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi merupakan hasil dari pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Untuk bertarung di pilkada, calon kepala daerah terpaksa mengeluarkan ongkos politik yang mahal.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa biaya politik pilkada langsung sangat mahal. Makanya berbagai cara dilakukan kepala daerah untuk memenuhi kebutuhan biaya politik,” jelasnya.

Menurut dia, biaya politik tak hanya besar saat pencalonan dan kampanye. Setelah calon kepala daerah berhasil mendapatkan jabatan, mereka juga harus mengeluarkan biaya besar untuk memelihara konstituen dan membayar duit balas jasa terhadap partai politik (parpol) pengusung.

“Penyalahgunaan wewenang banyak terjadi proyek pelaksanaan barang dan jasa. Program pelaksanaan barang dan jasa hasilnya sering digunakan membiayai konstituen dan parpol pendukung, serta mengembalikan modal politik. Ini hasil hipotesa kami,” bebernya.

Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro tidak terkejut melihat tingginya angka korupsi kepala daerah. Menurut dia, sistem multi partai dan pilkada langsung adalah pemicu utama kepala daerah melakukan korupsi.

“Pemilihan langsung membuat cost politik besar. Selain memikirkan rakyat, kepala daerah juga harus amankan partai, konstituen dan tim sukses ,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut Siti, sistem pemilihan langsung yang ada saat ini sudah berada di luar koridor. Sistem yang awalnya bertujuan menciptakan pemimpin yang membawa amanah dari masyarakat, justru sebaliknya.

Siti menyatakan, untuk menekan praktik korupsi di daerah hanya bisa dilakukan dengan reformasi di birokrasi dan partai.  Untuk reformasi birokrasi, kata dia, kepala daerah harus melakukan penataan perekrutan Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Ke depan, rekrutmen PNS harus dilakukan lebih transparan,” katanya.

Sedangkan untuk reformasi di parpol, kata Siti, parpol dalam mengusung kepala daerah tidak boleh lagi menjadikan uang dan materi sebagai instrumen utama mendukung calon kepala daerah.

“Parpol harus mulai menetapkan calon kepala daerah dengan profesional.  Berdasarkan kompetensi dan kemampuan leadership. Bukan banyak atau sedikitnya uang yang disetor sebagai mahar,” pungkasnya.

Konsep Otda Mesti Direvisi
Malik Haramain, Anggota Komisi II DPR

Maraknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah di negeri ini sudah memprihatinkan. Salah satu faktor pemicu korupsi adalah mahalnya ongkos politik saat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).

Sejujurnya, besarnya ongkos politik tidak terlepas dari tiga faktor. Pertama masalah regulasi. Ketiadaan regulasi yang mengatur besaran dana yang digunakan dalam kampanye membuat kandidat yang bertarung dalam pilkada adu jor-joran menggelontorkan dana.

Kedua, lemahnya pengawasan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ketika kampanye. Seharusnya sejak resmi maju di pilkada dan setelah kampanye, harta kekayaan seluruh calon kepala daerah diaudit oleh auditor independen. Dari situ KPU bisa mengetahui ada atau tidaknya kejanggalan dalam penggunaan dana kampanye.

Ketiga, penyebab korupsi, yakni kepala daerah tidak berhati-hati dan kurang mengerti prosedur penganggaran di daerah. Biasanya pejabat model ini, mereka tidak menikmrati uang hasil korupso, tapi karena tak mengerti dalam membuat kebijakan akhirnya mereka terperangkap terlibat korupsi.

Selain ketiga faktor itu, otonomi daerah (otda) juga memicu terjadinya perilaku korup. Dengan adanya otda, kepala daerah jadi memiliki wewenang dan momentum untuk melakukan korupsi, karena kewenangan penuh mengelola dana daerah. Dengan kewenangan yang besar, pejabat bisa tergiur melihat anggaran jumbo.

Namun, otda tidak bisa disalahkan dan dijadikan penyebab utama adanya serangkaian kasus hukum yang dilakukan oleh kepala daerah.  Konsep otonomi daerah sudah bagus dan cukup ideal. Hanya memang masih terdapat hal yang perlu direvisi seperti kontrol yang dilakukan dari tingkat provinsi, yakni oleh gubernur, agar otoritas bupati/wali kota sesuai prosedur.

Saat ini, Komisi II DPR sedang melakukan Revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah (RUU Pemda). Dalam RUU Pemda nantit akan diatur mengenai pembatasan dana kampanye. DPR telah sepakat membatasi total dana yang digunakan dalam proses politik. Namun soal besaran dana kampanye, sedang kita musyawarahkan.

Libatkan KPK & PPATK Dalam Penegakan Hukum

Roy Salam, Peneliti Indonesia Budget Center (IBC)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus aturan tentang pemeriksaan kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi harus melalui izin Presiden, harus dijadikan semangat oleh penegak hukum di daerah untuk lebih berani menindak kepala daerah nakal.

Selama ini kan penegak hukum di daerah baik Kepolisian maupun Kejaksaan selalu beralasan menunggu surat izin presiden, sehingga sering lamban mengusut kasus korupsi jika melibatkan kepala daerah.

Dengan tidak diperlukannya lagi izin Presiden, tidak ada lagi alasan bagi aparat penegak hukum seperti Kejaksaan atau Kepolisian untuk tidak segera menangani kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah.

Selain pentingnya peran Kejaksaan dan Kepolisian dalam mengungkap kasus korupsi di daerah, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga perlu dimaksimalkan.

KPK dan PPATK, saya imbau ikut terlibat langsung memantau penanganan kasus-kasus hukum kepala daerah. Tujuannya, untuk meminimalisir adanya praktik transaksional mafia hukum oleh aparat penegak hukum di daerah dengan kepala daerah.

Saran saya, apabila ada penanganan kasus korupsi di daerah yang ditangani Kejaksaan dan Kepolisian lamban, maka KPK perlu turun tangan.  [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar: