Rachmadin Ismail - detikNews
Jakarta - Desakan agar para pejabat bersikap transparan soal pendapatan dan pengeluarannya diprediksi sulit terwujud di Indonesia. Terutama bila berharap pada mereka yang memenangkan jabatan dengan cara korupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, syarat sebuah keterbukaan harus berawal dari proses pemilihan yang jujur. Sangat sulit menuntut transparansi pada seseorang yang sudah bersikap curang sejak awal.
"Transparansi itu penting, tapi syarat lanjutannya yang paling penting, terutama soal pemilihannya," kata Ade saat berbincang dengan detikcom, Rabu (3/12/2013).
Pasangan Jokowi dan Ahok, kata Ade, terpilih dalam proses politik yang cukup baik. Karena itu, keduanya tak ragu untuk menerapkan sistem transparan dalam pemerintahannya.
Hal lain yang tak kalah penting adalah partisipasi publik dalam penyusunan anggaran pemerintah. Para pejabat harus membuka ruang pada masyarakat untuk memberi masukan.
"Supaya tetap bisa terkontrol," imbuhnya.
Ade juga mengkritisi soal honorarium pejabat yang masih diterima. Kadang, jumlahnya melebihi gaji pokok yang sudah ditentukan. Cara-cara penuh trik seperti ini, ke depan harus dihilangkan
"Kalau begitu dia seperti insider trading, dapat dana dari kerjaan utama dia yang sudah digaji," imbuhnya.
"Hal ini bisa bahaya pada tingkatan yang lebih mikro, misalnya di sekolah. Kepala sekolanya jadi pembina di sejumlah organisasi, pada akhirnya membuat kegiatan yang tidak perlu," sambung pria yang
sedang sibuk mengobok-obok dugaan korupsi di Pemprov Banten ini.
Soal honor ini sudah jadi perhatian pemerintah. Pada tahun 2014 nanti, sistem honor akan dihapus bagi seluruh PNS. Pembayaran honorer bakal dialihkan ke tunjangan kinerja.
Dengan sistem baru ini, seluruh gaji PNS mulai golongan I sampai IV akan naik, gaji pejabat eselon I bisa mencapai Rp 70 juta per bulan. Sedangkan pejabat eselon II sekitar Rp 55-60 juta, eselon III Rp 45 juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar