BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 26 Januari 2015

Soal Mahkamah Privilegiatum, MA: Sepanjang Ada UU yang Mengatur, Kita Siap

Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Usulan hak imunitas kepada komisioner KPK dinilai melanggar prinsip negara hukum. Ke depan, lebih elok jika membuat Mahkamah Privilegiatum, yaitu pengadilan khusus mengadili pejabat negara.

Mahkamah Agung (MA) siap melaksanakan Mahkamah Privilegiatum sepanjang ada payung hukum yang ada. "Harus ada regulasinya, ada aturan-aturannya yang memayungi lembaga sehingga ada dasar untuk melaksanakannya," kata jubir MA hakim agung Suhadi saat berbincang dengan detikcom, Senin (26/1/2015).

MA sebagai pelaksana UU siap melaksanakan seluruh amanat negara. Seperti pengadilan sengketa pilkada yang dari Mahkamah Konstitusi (MK) kembali lagi ke MA. Padahal sebelumnya, DPR mencabut kewenangan mengadili sengketa pilkada dari MA dan diserahkan ke MK.

"Semua tergantung yang mengatur, bagaimana ketentuannya, tergantung UU yang mengatur," ujar Suhadi.

Mahkamah Privilegiatum ini pernah dibentuk pada tahun 1950-an untuk mengadili Menteri Negara Sultan Hamid dan menjatuhkan hukuman 10 tahun. Mahkamah Privilegiatum ini merupakan pengadilan ad hoc yang mengadili pejabat negara yang digelar di MA dengan putusan bersifat final dan binding. Ahli hukum tata negara dari Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono menilai Mahkamah Privilegiatum lebih cocok dihidupkan lagi daripada memberikan hak imunitas kepada pejabat negara yaitu komisioner KPK.

"Dulu juga kita pernah melakukannya pada saat ada kasus PKI, kita membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili tokoh-tokoh PKI. Jadi (Mahkamah Privilegiatum) bisa saja terjadi, tergantung payung hukumnya, bagaimana hukum acaranya," kata Suhadi.

Mahmilub itu dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1963 tentang Pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 24 Desember 1963. Duduk sebagai Ketua Mahmilub yaitu Ketua MA waktu itu, Ali Said. Mahmilub mulai menyidangkan Nyono pada 14 Februari 1966. Setelah itu berturut-turut diperiksa dan diadili Letnan Kolonel Untung, Dr Soebandrio, Laksamana Madya Omardhani, Brigjen Supardjo dan lain-lain.

Saat ini, lembaga semacam Mahkamah Privilegiatum sudah ada tapi khusus untuk Presiden/Wakil Presiden yaitu melalui mekanisme di Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden/Wakil Presiden yang diduga kuat melakukan tindak pidana, dapat dimohonkan DPR untuk diadili ke MK, apakah benar tudingan itu atau tidak.

"Jadi daripada kita mendorong adanya imunitas terhadap pejabat negara seperti imunitas untuk komisioner KPK yang potensial bertentangan bersamaan dengan prinsip setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, maka lebih baik kita pikirkan kembali alternatif untuk menggunakan instrumen Forum Privilegiatum," ujar Bayu.

Tidak ada komentar: