Said Zainal Abidin - detikNews
Jakarta
Hakim adalah perlambang keadilan di dunia. Di tangannya
putusan keadilan diturunkan. Dilihat dari satu sisi, hakim pantas
disebut sebagai 'Khalifatullah fil Ardhi' (khalifah Allah di bumi ini).
Karena itu prikehidupannya harus dapat mencerminkan kesucian, kesalehan
dan ketegasan. Dia harus mampu hidup dan bertugas tanpa pamrih. Tanpa
mengharapkan balas jasa, apalagi kemewahan. Karena itu ada kewajiban
bagi penguasa untuk mengurus kebutuhan hidup hakim secukupnya.
Tetapi
dalam masyarakat di mana keadilan terabaikan, putusan hakim
kadang-kadang tidak mampu mencerminkan rasa keadilan. Alasannya, karena
keputusan tidak ditentukan di meja peradilan, tapi di meja judi,
lapangan golf atau di ruang kerja mereka yang memiliki kekayaan dan
kekuasaan. Hakim menjadi boneka yang dipermainkan, yang harus
menyesuaikan diri dengan kepentingan dan keinginan mereka.
Ketika
hakim mengancam mogok menuntut kesejahteraan, masyarakat terkejut dan
bertanya, ada apa gerangan yang mendorong para hakim bertindak demikian?
Berbagai pendapat dan perkiraan timbul dalam masyarakat. Mulai dari
kesalahan pemerintah sampai kepada dampak yang ditimbulkan suatu
kebijakan.
Pendapat pertama, melihat masalah pada perubahan
lingkungan dalam kaitan dengan suasana kebatinan. Yakni, pada
kecenderungan dunia yang menjadi semakin materialistis atau hedonistis.
Hakim yang dari dulu memang kurang diperhatikan, tapi tidak pernah
menuntut hal-hal yang bersifat materialis, mengapa sekarang menjadi
berubah? Mereka lupa, bahwa hakim adalah juga manusia biasa, yang
membutuhkan makan, minum, pakaian, rumah dan keluarga. Tanpa terepenuhi
kebutuhan hidup secara wajar, hakim juga tidak dapat bekerja secara
wajar. Dalam keadaan demikian yang paling mudah disalahkan dan dijadikan
sasaran adalah SBY. Karena SBY dewasa ini telah menjadi penebus segala
dosa.
Pendapat kedua, melihatnya dari segi politik. Dalam teori
kebijakan publik ada teori kelompok atau model kelompok (group model).
Menurut teori ini, kebijakan publik adalah hasil dari pergelutan
kelompok dalam masyarakat. Pergelutan itu dapat terjadi dalam berbagai
bentuk. Adu kekuatan, adu suara atau adu keahlian. Kelompok yang paling
kuat akan menang. Karena itu, menurut pendapat ini, kebijakan publik
adalah refleksi dari kepentingan golongan yang paling kuat. Maka itu,
mogok merupakan salah satu cara unjuk kekuatan dalam bentuk unjuk rasa
dengan perasaan. Kalau mahasiswa atau buruh, biasanya dengan cara
kekerasan atau perusakan.
Pendapat ketiga melihat persoalan pada
perubahan kondisi dan kesadaran lingkungan. Perlakuan dan fasilitas
yang kurang kepada hakim bukan hal yang baru di Indonesia. Dari dahulu
juga sudah demikian. Namun dahulu keadaannya tidak seperti sekarang.
Sebagian dari mereka yang sering dipandang mewakili aspirasi para hakim,
hidupnya hampir tidak bergantung pada gaji yang diberikann pemerintah
sebagai PNS. Tetapi sekarang, dengan ketatnya kegiatan pemberantasan
korupsi, termasuk tindakan pencegahan gratifikasi, hidup mereka menjadi
semakin tergantung pada gaji. Sementara reformasi birokrasi dalam bidang
remunerasi belum sampai pada perbaikan nasib para penegak hukum,
kecuali KPK.
Karena itu sewajarnyalah kita bersyukur kepada Allah
atas segala petunjuk dan dorongan untuk menyadarkan kita semua pada
keperluan adanya perbaikan remunerasi yang 'dapat menjamin orang jujur
hidup layak'.
*) Said Zainal Abidin adalah
ahli manajemen pembangunan daerah (regional development management) dan
kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar