INILAH.COM, Jakarta - Komisi III DPR tidak sepakat dengan para hakim
yang berencana melakukan aksi mogok sidang menuntut peningkatan
kesejahteraan.
"Dalam rangka menuntut hak-hak mereka, sangat
tidak elok kalau para hakim melakukan aksi mogok," kata anggota Komisi
III DPR Ahmad Basarah, di Jakarta, Senin (9/4/2012).
Dia menilai
aneh jika hakim melakukan aksi mogok. Apalagi, jika rakyat tahu bahwa
yang dituntut terlalu vulgar dan bersifat keduniawiaan.
"Bagaimana
cara menjelaskan kepada rakyat nantinya kalau sekelompok orang dengan
profesi hakim yang disebut sebaga wakil Tuhan di bumi, masih menuntut
hal-hal bersifat keduniawian secara vulgar," tutur Basarah.
Anggota
dari Fraksi PDI Perjuangan itu mengatakan, hakim seharusnya berupaya
agar kesejahteraan mereka diperhatikan melalui jalur resmi. Dia menjamin
akan memperjuangkan nasib hakim ini.
"Biarlah kami dari Komisi
III yang akan memperjuangkan peningkatan kesejahteraan hakim tersebut
melalui badan anggaran DPR," katanya.
Sebagaimana diberitakan
INILAH.COM, Minggu (8/4/2012), para hakim pengadilan negeri berencana
mogok sidang, yang semula 1 April, diundur hingga pertengahan Mei 2012.
Pengunduran aksi itu guna menghindari tudingan pengalihan isu penaikan
harga bahan bakar minyak (BBM).
"Semula mogok sidang akan
dilakukan 1 April 2012, tapi kemudian teman-teman sepakat aksi diundur
sekitar pertengahan Mei 2012, yakni bertepatan dengan 101 hari masa
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. Mogok sidang akan dilakukan hingga
tuntutan para hakim diperhatikan oleh pemerintah," kata Ketua Pengadilan
Negeri Ende Achmad Peten Sili, Rabu (28/3/2012) di Ende, Flores, NTT.
Para
hakim saat ini sangat resah terkait minimnya penghargaan dan
kesejahteraan yang mereka peroleh, terutama jika dibandingkan pegawai
negeri sipil (PNS). Contoh, gaji pokok yang diperoleh hakim sekitar
Rp1,9 juta. Jumlah itu dinilai lebih rendah jika dibandingkan dengan PNS
yang nol tahun, sekitar Rp2 juta.
Selain itu, sejak 2008,
remunerasi atau tunjangan khusus untuk hakim PN sebesar Rp4,2 juta,
sampai saat ini hanya diterima 70 persen atau sekitar Rp2,9 juta.
Padahal, di lingkungan BPK dan Kementerian Keuangan, remunerasi
diberikan sebesar 100 persen. [yeh]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar