RMOL. Menyandang prediket pejabat negara, tidak serta merta
seorang hakim merasa nyaman dalam menjalankan tugasnya. Menjadi hakim
betul-betul sebuah pengabdian karena harus menanggung beban dan tanggung
jawab berat dan harus bersedia ditugaskan di seluruh pelosok negeri
ini.
Tapi, masyarakat tidak banyak tahu bagaimana kondisi hakim
sebenarnya itu. Di samping 11 tahun tunjangan hakim dan gaji hakim tidak
pernah naik, para 'wakil Tuhan' ini hidup harus siap dengan kondisi
yang seadanya.
"Masyarakat tidak tahu kalau hakim harus ngekos karena tidak ada
diberikan fasilitas rumah dinas, hakim harus berjalan kaki kekantor
karena tidak ada kendaraan," ujar Safi, seorang hakim asal Papua, kepada
Rakyat Merdeka Online lewat surat elektronik (Selasa, 28/2).
Safi menceritakan, dirinya harus pindah dengan isteri dan ketiga anaknya dari Papua ke daerah Kalimantan Barat.
"Bukan bermaksud mengeluh, tapi sebagai pejabat di atas kertas, saya
harus ngutang ke bank setiap pindah untuk biaya kontrak rumah, beli
perabot dan lain-lain. Jadi belum bekerja di tempat tugas yang baru kami
sudah ngutang ke bank," ungkapnya miris.
Selama ini Mahkamah Agung sudah mendapatkan tunjangan kinerja atau
remunerasi termasuk para hakim. Namun faktanya, remunerasi diberikan
tanpa kejelasan waktu, sehingga sangat dikeluhkan oleh seluruh pegawai
Mahkamah Agung khususnya hakim.
Karena itu, Safi berharap pemerintah dan Mahkamah Agung serta
pemangku kepentingan lainnya mau memperhatikan kondisi mereka. "Satu
orang hakim berbuat salah, semua orang ribut dan itu wajar. Tapi tidak
wajar kalau pemerintah membiarkan hakim diperhatikan kesejahteraannya.
Sebab di sisi lain kami dituntut menjadi orang yang dapat memberikan
keadilan kepada masyarakat," pungkasnya. [zul]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar