VIVAnews - Wakil
Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf menyarankan
agar Komite Etik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersifat permanen
untuk mengawasi kinerja lembaga antikorupsi itu. Bukan lembaga ad hoc seperti saat ini.
Hal ini menindaklanjuti temuan pelanggaran etik dalam kasus bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang.
Hal ini menindaklanjuti temuan pelanggaran etik dalam kasus bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang.
"Karena pembocoran bukan
hanya sprindik. Hasil sadapan atau transkrip sadapan juga terbukti
dibocorkan dengan aneka motif yang berpotensi menghambat kerja
pemberantasan korupsi," kata Almuzzammil.
Jika Komite Etik KPK
permanen, menurut Muzzammil, anggotanya harus diambil dari tokoh-tokoh
yang berintegritas, independen, berani, tegas, dan pekerja cepat. "Jadi,
KPK bukan hanya cepat, semangat, dan keras kepada tersangka koruptor.
Tapi, juga cepat, semangat, dan keras kepada diri mereka sendiri. Itu
baru adil,” tegasnya.
Menanggapi temuan Komite Etik, politisi PKS asal Lampung ini menilai kasus bocornya sprindik membuktikan kewenangan KPK telah digunakan secara tidak patut untuk kepentingan si pembocor dan yang memesan bocoran tersebut. (Baca putusan Komite Etik KPK di tautan ini).
“Tidak mustahil ada pesanan politik dalam pembocoran tersebut. Ini membuktikan KPK juga terdiri atas manusia dengan segala kepentingan subjektifnya. Untuk itu, perlu diawasi oleh publik dan media massa,” jelasnya.
Sanksi lebih berat
Dia menilai, sanksi yang diberikan kepada pelanggar kode etik di lembaga dengan kewenangan besar (superbody) juga harus lebih berat, tidak boleh sama dengan lembaga yang kewenangannya terbatas.
"Kalau tidak berimbang, sangat berpotensi dilanggar lagi, karena sanksinya kecil dan bukan pidana. Hukuman yang rendah seperti ini ke depan bisa dijadikan ajang transaksional kasus korupsi,” tuturnya.
Untuk itu, menurut Muzzammil, perlu ada aturan yang tegas terhadap pembocor proses penyidikan, baik itu di KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Peluang memasukkan usulan ini ada di revisi KUHAP yang saat ini sedang dibahas di DPR.
Menanggapi temuan Komite Etik, politisi PKS asal Lampung ini menilai kasus bocornya sprindik membuktikan kewenangan KPK telah digunakan secara tidak patut untuk kepentingan si pembocor dan yang memesan bocoran tersebut. (Baca putusan Komite Etik KPK di tautan ini).
“Tidak mustahil ada pesanan politik dalam pembocoran tersebut. Ini membuktikan KPK juga terdiri atas manusia dengan segala kepentingan subjektifnya. Untuk itu, perlu diawasi oleh publik dan media massa,” jelasnya.
Sanksi lebih berat
Dia menilai, sanksi yang diberikan kepada pelanggar kode etik di lembaga dengan kewenangan besar (superbody) juga harus lebih berat, tidak boleh sama dengan lembaga yang kewenangannya terbatas.
"Kalau tidak berimbang, sangat berpotensi dilanggar lagi, karena sanksinya kecil dan bukan pidana. Hukuman yang rendah seperti ini ke depan bisa dijadikan ajang transaksional kasus korupsi,” tuturnya.
Untuk itu, menurut Muzzammil, perlu ada aturan yang tegas terhadap pembocor proses penyidikan, baik itu di KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Peluang memasukkan usulan ini ada di revisi KUHAP yang saat ini sedang dibahas di DPR.
"Jika perlu ada sanksi
pemecatan dan pemidanaan bagi siapa pun yang membocorkan ke publik
terkait proses penyidikan, termasuk di dalamnya hasil rekaman dan
transkrip penyadapan,” paparnya. (art)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar