Andri Haryanto - detikNews
Jakarta - Koordinator untuk Orang Hilang dan Tindak
Kekerasan (KontraS) mengecam vonis mati yang dijatuhkan majelis hakim
Pengadilan Militer II-09 Bandung, terhadap personel Yonif 303/13/1
Kostrad, Prada Mart Azzanul Ikhwan (23). Vonis mati dinilai tidak bisa
menjadi acuan efek jera bagi pelaku lainnya.
"Perbuatan yang
dilakukan Prada Mart AzzanuL Ihkwan tersebut memang selayaknya
mendapatkan hukuman berat, namun vonis hukuman mati tidak dapat
dijadikan tolak ukur beratnya hukuman sebagai pemberi efek jera bagi
calon pelaku lainnya," terang Koordinator KontraS, Haris Azhar, dalam
keterangan tertulisnya, Kamis (25/4/2013).
Putusan mati tersebut,
jelas Haris, justru menandakan nihilnya pemahaman majelis hakim
peradilan militer atas perlindungan hak asasi manusia. Dalam UUD 1945
pasal 28A jo 28I dan berbagai instrumen HAM di Indonesia, dikenal adanya
beberapa hak yang digolongkan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun (non derogable rights).
Dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana sudah dijadikan
hukum nasional lewat (Undang-Undang nomor 12 tahun 2005) hak-hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, diantaranya, adalah hak
untuk hidup (pasal 6), hak untuk tidak disiksa (pasal 7), hak diakui
sebagai pribadi di muka hukum (pasal 16) serta hak atas kebebasan
berpikir, berkeyakinan dan beragama (pasal 18).
"Kami meyakini
bahwa putusan ini untuk menunjukan ketegasan belaka. Namun sayang
ketegasan semacam ini jelas merupakan ketegasan yang mengkhianati UUD
1945 yang menjamin hak untuk hidup," ujar Haris.
Haris
berpendapat, terdapat kekeliruan penerapan dalam upaya penegakan hukum
yang menimpa Prada Mart. Kekeliruan yng dimaksud kejahatan yang
dilakukan Prada Mart merupakan delik pidana umum, bukan kejahatan
militer.
"Penghukuman dengan menggunakan peradilan militer adalah sebuah kesalahan jurisdiksi hukum," kata Haris.
Haris
mendesak Oditur untuk menyatakan banding terhadap putusan Majelis Hakim
Pengadilan Militer II-09 Bandung, dan tetap pada tuntutannya untuk
menghukum Prada Mart dengan pidana penjara 20 tahun.
Prada Mart
tega membunuh Shinta dan ibunya karena dituntut bertanggungjawab atas
kehamilan Shinta. Terdakwa membantah bahwa janin yang dikandung Shinta
anaknya. Namun berdasarkan hasil test DNA terhadap janin tersebut,
terungkap jika memang benar Prada Mart adalah ayah dari janin berjernis
kelamin laki-laki itu.
Majelis Hakim yang diketuai Letkol (Chk)
Sugeng Sutrisno dalam putusannya menyebut bila majelis tidak menemukan
hal yang meringanka. Sementara untuk hal yang memberatkan, adalah karena
terdakwa anggota TNI, dimana telah dilatih dan dididik untuk berperang
dan seharusnya melindungi rakyat, bukan untuk membunuh rakyat. Perbuatan
terdakwa merusak kepentingan militer dalam soliditas dengan rakyat,
mencederai rasa keadilan masyarakat, nilai kearifan lokal, norma adat
dan agama.
"Perbuatan terdakwa tidak mencerminkan sifat-sifat seorang prajurit kesatria," tutur Sugeng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar