INILAH.COM, Jakarta - Ketua Kelompok Fraksi PDI Perjuangan
Komisi VI DPR, Aria Bima angkat bicara terkait rencana Badan Kehormatan
(BK) DPR yang ingin memberikan sanksi kepada Anggota Komisi VI dari
Fraksi PDI Perjuangan Sukur Nababab terkait absensi di sidang paripurna
DPR.
Aria meminta BK DPR bertindak secara objektif dalam
menjalankan tugasnya untuk memberikan sanksi kepada anggota DPR
khususnya Sukur Nababan terkait absensi di sidang paripurna.
"Obyektif itu sesuai fakta, tidak kurang dan tidak lebih,” ujar Aria Bima di Jakarta, Rabu (3/4/2013)
Aria
sendiri menyambut baik bila BK akan segera memutuskan apakah Sukur
terbukti melanggar kode etik dan tata tertib atau tidak. Dengan begitu,
status Sukur sendiri memiliki kepastian.
Namun, Aria mengimbau
agar BK DPR bersikap obyektif dalam mengambil keputusan, jangan sampai
ada diskriminasi kepada pihak-pihak yang tertentu.
Aria Bima
mengungkapkan, ketidakhadiran Sukur dalam sejumlah sidang paripurna DPR
disebabkan karena faktor kesehatan yang bersangkutan dalam kondisi
sakit.
"Bahkan Mbak Puan (Ketua Fraksi PDI Perjuangan Puan
Maharani - red) yang memerintahkan langsung agar Sukur berobat ke
Singapura. Waktu itu saya, Prof Hendrawan Supratikno, Erico Sotarduga,
dan Daniel Tobing yang menyaksikan Mbak Puan memerintahkan langsung agar
Sukur berobat ke Singapura," ungkapnya.
Dia menilai, sebagai
pimpinan komisi sekaligus Ketua Poksi VI, dirinya justru berkewajiban
untuk ikut menegakkan disiplin anggotanya, sehingga ia tidak mudah
memberikan izin bagi anggotanya untuk tidak mengikuti rapat-rapat di
DPR.
Namun Aria hanya meminta BK DPR lebih transparan dan
objektif dalam mengusut dugaan pelanggaran kode etik terhadap kader PDIP
tersebut.
"Nyatanya dia (Sukur Nababan) sakit, saya sebut stroke
ringan, karena mukanya itu 'merot'. Dalam sebuah acara di Istora
Senayan kami melihat kondisi dia, saat itu juga Mbak Puan
memerintahkannya berobat ke Singapura," jelasnya.
Lebih lanjut,
Aria menambahkan, Sukur sendiri sebenarnya sudah mengajukan izin ke
fraksi untuk tidak mengikuti rapat-rapat di DPR karena sedang berobat,
mulai 1 Juli 2012 hingga enam bulan ke depan.
"Bahwa izin itu
tidak sampai ke Sekretariat Jenderal DPR, itu kesalahan stafnya, dan itu
kesalahan administratif, bukan pelanggaran etika atau tata tertib,"
tandasnya. [ton]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar