Bagi Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia, Haula Rosdiana, andai
semua data yang dibutuhkan sudah terhubung secara online. maka
masyarakat Indonesia otomatis akan proaktif dan jujur dalam membayar
pajak.
Haula lebih memilih modernisasi pelayanan pajak
seperti data base online itu, ketimbang penambahan tenaga pengelola
pajak. Menurutnya resep ini lebih mujarab ketimbang menaikkan cost collection, kendati level Indonesia terbilang rendah dibandingkan negara-negara lain.
"Kalau
ada sistem online, si A mengaku kalau gajinya Rp 100 juta, tapi di
sistem itu akan ketahuan kalau data malah menunjukkan dia baru membeli
rumah seharga satu miliar rupiah," katanya melukiskan salah satu
kelebihan sistem online.
Menurutnya,
sistem online akan menghilangkan kesempatan orang yang berniat
berbohong atau mengelabui data demi membayar pajak dengan lebih murah
atau lebih rendah dari yang diwajibkan.
Dia memberi
contoh Badan Otoritas Pajak Amerika Serikat yang disebutnya disegani
karena memiliki data akurat dalam mengumpulkan pajak sehingga siapa pun
tak bisa bermain-main dengan otoritas pajak dan itu meningkatkan
kedisiplinan serta kepercayaan wajib pajak.
Di negeri
itu, sistem pengelolaan pajak juga bersinerji dengan lembaga-lembaga dan
pihak-pihak terkait lainnya sehingga ada kesinambungan pelaporan dan
kerunutan data.
"Di Indonesia, tidak ada akses online yang sinergi, misalnya antara BPN, PPATK,
dengan dealer mobil. Jadi kita masih bisa menyembunyikan sesuatu," kata
guru besar perempuan pertama bidang perpajakan di Indonesia ini.
Lebih
dari itu, kata dia, di Indonesia masih ada pungutan liar yang membuat
masyarakat enggan membayar pajak karena harus membayar uang ekstra.
Bila
Indonesia belum dapat menerapkan sistem tersebut, Haula tidak setuju
jika mengamankan penerimaan pajak dibarengi dengan penegakan hukum.
Menurut dia, penegakan hukum tanpa dibarengi perbaikan sistem internal
pelayanan pajak justru akan membuat wajib pajak menjadi timbul benci,
bahkan trauma.
"Jadi kayak penjajah, jadi ditakuti.
Silakan untuk yang memang bandel banget yang istilahnya punya bekingan.
Kalau wajib pajak yang patuh malah bisa trauma," kata Haula.
Tetapi dia yakin Indonesia bisa cepat mewujudkan sistem online yang sinergis sehingga masyarakat bisa proaktif membayar pajak.
"Tunggu ada pemimpin nasional yang bagus, maka tidak perlu waktu lama. Tiga tahun juga bisa," katanya yakin.
Bagi
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri, manfaat sistem online ini
amatlah besar. Ditjen Pajak tidak perlu lagi repot-repot mengadakan
pemeriksaan khusus bila ada perusahaan yang hanya menyetor 80-95% PPh
pasal 21. Haula yakin, instrumen online akan membuat kenakalan seperti
itu tidak akan terjadi.
Jika sekarang ada yang
setorannya hanya 80-95%, Haula menyarankan Ditjen Pajak untuk
menyampaikan himbauan dulu saja kepada wajib pajak, karena ada
kemungkinan hal itu terjadi karena ketidaktahuan wajib pajak.
"Kalau perlu dibantu, dididik dulu, bikinin software penghitungan yang gratis karena PPh pasal 21 itu termasuk complicated (rumit)," kata Haula.
Selain
didukung sistem yang baik, Haula berpendapat para pekerja Ditjen Pajak
juga harus sejahtera agar mereka lebih efektif bekerja demi mengamankan
penerimaan pajak.
Selain soal gaji, penghargaan juga
harus diberikan kepada pegawai yang berhasil mencetak prestasi baik.
Penghargaan ini perlu karena jika pegawai yang belum sejahtera harus
berhadapan dengan uang yang nilainya miliaran rupiah, maka kemungkinan
besar terjadi penyelewengan.
"Kalau sudah sejahtera masih bandel, korupsi, hukum gantung saja seperti di China," kata Haula.
Meski
begitu Haula menilai strategi pengamanan pajak 2013 belum sempurna
karena masih ada hal yang harus dievaluasi. Lagi-lagi dia menekankan
pentingnya data sehingga Ditjen Pajak tidak hanya mengandalkan
pemeriksaan.
"Bila pajak tanpa data berarti hanya mengandalkan pemeriksaan, yang ada hanya efek jera dan antipati," kata Haula.
Dalam
bagian lain dari strategi pengamanan pajak 2013 ini, Haula menyingggung
perlunya klasifikasi dan ruang lingkup lebih jelas mengenai objek-objek
terkena pajak sehingga lebih tepat sasaran.
Dia sendiri melihat banyak bagian yang dia sebut grey area,
baik pada PPh maupun PPN. Misalnya, pada sisi PPN kadang seharusnya
dikenai pajak, yang justru terjadi malah tidak. Contohnya, bank agunan
yang tidak untuk diperjualbelikan justru menjadi objek PPN, padahal itu
bukanlah usaha bank. Demikian pula air minum. "Mentang-mentang yang
tidak boleh dikenai pajak itu air bersih, maka air minumlah yang dikenai
pajak," kata dia.
Menurut dia, kalau memang sifatnya public goods atau tanggung jawab pemerintah maka itu tidak perlu dikenai pajak. Untuk itulah perlu ada batasan dan pemahaman lebih
kreatif lagi sehingga objek-objek pajak lebih tepat sasaran agar
penerimaan, sekaligus pengamanan pajak, berlaku optimal dan sangat
kontributif bagi pembangunan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar