INILAH.COM, Jakarta - Kalangan DPR dipersepsikan publik
sebagai koruptor akibat banyaknya korupsi di parlemen untuk
mengembalikan investasi politiknya. Skandal Hambalang, impor daging sapi
dan seterusnya, membuat civil society jengah.
Fenomena korupsi politik oleh kalangan DPR, juga industrialisasi politik dan demokrasi kriminal/transaksional dewasa ini, telah memerosotkan karakter kebangsaan, serta menghancurkan kepercayaan publik pada demokrasi substansial. Berbagai kalangan menyebut, penyebabnya adalah besarnya kewenangan DPR dalam membahas anggaran.
Dalam hal ini, Koalisi Penyelamatan Uang Rakyat meminta kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membahas anggaran dibatasi. Hal ini untuk mencegah peluang terjadinya praktek korupsi oleh anggota dewan. Meruaknya korupsi d kalangan Banggar DPR sudah membuat citra buruk DPR meluber.
Kewenangan DPR tersebut rentan disalahgunakan menjadi praktek ijon anggaran. Karena sejak awal DPR telah tahu mata anggaran sampai unit kegiatan yang sangat rinci.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan di Kantor Indonesian Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, pekan lalu menyebutkan, ironis sekali bahwa DPR ikut mengawasi pelaksanaan APBN. Padahal DPR pula yang ikut menyusun APBN tersebut. DPR diminta hanya membahas anggaran secara umum dan memaksimalkan fungsi pengawasan.
Untuk itu, ICW, YBLHI, IBC, dan FITRA mengajukan judicial review Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang diuji yakni membatalkan Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase “rincian” Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 dan mempertegas tafsir Pasal 15 ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) UU No. 27 Tahun 2009.
Para pemohon judicial review itu ingin DPR cukup membahas anggaran secara umum agar arah politik anggaran jelas . Dan kemudian setelah pengesahan APBN, DPR lebih memperkuat fungsi pengawasannya.
Dalam sidang MK beberapa waktu lalu, saksi ahli menyatakan bahwa kewenangan DPR tersebut dapat merusak ketatanegaraan, khususnya dalam hal sistem presidensial yang dianut di Indonesia. Saksi ahli Ari Dwipayana pada persidangan 11 Juli 2013 menyatakan bahwa kewenangan DPR membahas anggaran secara rinci membuka ruang manuver politik yang sangat besar dari hulu hingga hilir.
Kemudian Saldi Isra yang menjadi saksi ahli dalam sidang 25 Juli 2013 mengatakan bahwa kewenangan tersebut menimbulkan kerancuan ketatanegaraan. Saldi menyatakan jika DPR juga ikut membahas anggaran secara rinci maka DPR seolah-olah memposisikan diri sebagai eksekutif. Hal ini tidak kondusif bagi langkah pemberantasan korupsi di kalangan DPR sendiri.
Oleh sebab itu, pembatasan kewenangan DPR dalam membahas anggaran menjadi kunci. Agar korupsi bisa dicegah dan fungsi DPR normal kembali, bukannya disfungsionalisasi atau malfungsionalisasi seperti selama ini. [berbagai sumber]
Fenomena korupsi politik oleh kalangan DPR, juga industrialisasi politik dan demokrasi kriminal/transaksional dewasa ini, telah memerosotkan karakter kebangsaan, serta menghancurkan kepercayaan publik pada demokrasi substansial. Berbagai kalangan menyebut, penyebabnya adalah besarnya kewenangan DPR dalam membahas anggaran.
Dalam hal ini, Koalisi Penyelamatan Uang Rakyat meminta kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membahas anggaran dibatasi. Hal ini untuk mencegah peluang terjadinya praktek korupsi oleh anggota dewan. Meruaknya korupsi d kalangan Banggar DPR sudah membuat citra buruk DPR meluber.
Kewenangan DPR tersebut rentan disalahgunakan menjadi praktek ijon anggaran. Karena sejak awal DPR telah tahu mata anggaran sampai unit kegiatan yang sangat rinci.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan di Kantor Indonesian Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, pekan lalu menyebutkan, ironis sekali bahwa DPR ikut mengawasi pelaksanaan APBN. Padahal DPR pula yang ikut menyusun APBN tersebut. DPR diminta hanya membahas anggaran secara umum dan memaksimalkan fungsi pengawasan.
Untuk itu, ICW, YBLHI, IBC, dan FITRA mengajukan judicial review Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang diuji yakni membatalkan Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase “rincian” Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 dan mempertegas tafsir Pasal 15 ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) UU No. 27 Tahun 2009.
Para pemohon judicial review itu ingin DPR cukup membahas anggaran secara umum agar arah politik anggaran jelas . Dan kemudian setelah pengesahan APBN, DPR lebih memperkuat fungsi pengawasannya.
Dalam sidang MK beberapa waktu lalu, saksi ahli menyatakan bahwa kewenangan DPR tersebut dapat merusak ketatanegaraan, khususnya dalam hal sistem presidensial yang dianut di Indonesia. Saksi ahli Ari Dwipayana pada persidangan 11 Juli 2013 menyatakan bahwa kewenangan DPR membahas anggaran secara rinci membuka ruang manuver politik yang sangat besar dari hulu hingga hilir.
Kemudian Saldi Isra yang menjadi saksi ahli dalam sidang 25 Juli 2013 mengatakan bahwa kewenangan tersebut menimbulkan kerancuan ketatanegaraan. Saldi menyatakan jika DPR juga ikut membahas anggaran secara rinci maka DPR seolah-olah memposisikan diri sebagai eksekutif. Hal ini tidak kondusif bagi langkah pemberantasan korupsi di kalangan DPR sendiri.
Oleh sebab itu, pembatasan kewenangan DPR dalam membahas anggaran menjadi kunci. Agar korupsi bisa dicegah dan fungsi DPR normal kembali, bukannya disfungsionalisasi atau malfungsionalisasi seperti selama ini. [berbagai sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar