Ibad Durohman - detikNews
Jakarta - Komisaris Jenderal Badrodin Haiti diusulkan
Presiden Joko Widodo untuk menjadi calon Kepala Polri ke Dewan
Perwakilan Rakyat. Namanya pernah disebut-sebut sebagai salah satu
jenderal pemilik rekening gendut.
Badrodin akan menggantikan
Komjen Budi Gunawan, yang pencalonannya menimbulkan kontroversi setelah
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka pemilik
rekening gendut. Menjadi tersangka, Budi mengajukan permohonan
praperadilan dan menang. Namun, karena pencalonan Budi menimbulkan
kontroversi, Jokowi memutuskan tidak melantiknya dan memilih menunjuk
Badrodin.
Badrodin tidak khawatir akan bernasib sama dengan Budi
Gunawan. Pemilik harta Rp 8,2 miliar ini menyatakan tidak ada masalah
dengan hartanya. Ia mengaku sebagai polisi yang rajin melaporkan
hartanya ke KPK.
Hasil penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, Badrodin disebut tercatat membeli polis asuransi
pada PT Prudential Life Assurance dengan harga yang fantastis, yakni
sebesar Rp 1,1 miliar. Badrodin menjelaskan semua sudah dilaporkan ke
KPK. “Ada polis asuransi Rp 1 miliar. Itu ada di LHKPN. Terbuka kok
itu,” ujarnya dalam fokus majalah detik edisi 169.
Lantas
bagaimana Badrodin akan menyelesaikan kisruh Polri dengan KPK?
Bagaimana pula ia akan memberi posisi kepada Budi Gunawan? Berikut ini
wawancara dengan Badrodin Haiti di rumah dinasnya, Jakarta, Kamis, 19
Februari.
Sekarang Anda dicalonkan jadi Kapolri. Bagaimana Anda akan menyelesaikan kisruh KPK-Polri? Penyelesaian KPK-Polri menjadi prioritasyang akan kita ambil. Kalau itu tidak selesai, kerja sama ke depannya juga tidak baik. Karena itu, (permasalahan) itu kita selesaikan dulu.Penyelesaiannya, kita mau duduk bareng membicarakan apa maunya kamu, apa maunya dia. (Kisruh) yang sekarang ini kan paling berat karena memang sudah ada politiknya di sini, sehingga Bapak Presiden juga mengambil keputusannya harus menghitung-hitung. Menghitung mana yang tepat.
Anda
sebelumnya bilang akan ada komunikasi dengan pimpinan KPK yang baru
terkait penanganan pimpinan KPK yang sudah dijadikan tersangka. Apakah
maksudnya kasusnya akan di-SP3? Jadi begini, selama ini
komunikasi antara KPK dan Polri secara personal berjalan baik, akan
tetapi dibangun setelah ada kasus. Setelah ada kasus, baru komunikasi
(dilakukan) secara intensif. Kenapa tidak dibangun dari awal untuk
melakukan pencegahan? Misalkan, kalau ada sesuatu, ngasih tahu,
“Ini Pak, bahaya.” Kan harusnya seperti itu. Kalau ada suatu
penyimpangan, jangan dibiarkan saja, jadi akhirnya hubungan ini baik di
permukaan tapi di dalamnya masih ada kecurigaan
Pola komunikasi yang baru intensif ketika ada kasus harus diubah.
Apalagi pola hubungan Polri dan KPK pada level pelaksana—artinya
penyidik—seolah-olah ditanamkan bahwa penyidik di KPK ini, dan penyidik
Polri ini. Selalu sasarannya Polri, tidak boleh begitu, kan. Tak boleh.
Jadi seperti itu. Kalau ada penyimpangan, ya kasih tahu.
SP3 ada
persyaratannya. SP3 kan instrumen hukum. Nah, persoalan persyaratannya
kan harus ada. Tak bisa sewenang-wenang, “Oh, saya maunya SP3”. Tak bisa
begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar