Oleh :
Bayu Adi Wicaksono, Nila Chrisna Yulika, antv/tvOne
VIVA.co.id - Di tengah
ekonomi yang melambat serta naiknya harga barang yang makin tak
terkendali, rakyat Indonesia akan menghadapi musim kemarau panjang.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan, musim
kemarau tahun 2015 ini, akan berlangsung lebih lama dari tahun-tahun
sebelumnya.
"Jika dipantau dari peta Monitoring Hari Tanpa Hujan,
wilayah-wilayah tersebut sudah kering sejak Mei 2015 lalu," ujar Ketua
BMKG, Andi Eka Satya.
Panjangnya musim kemarau di beberapa tempat di Indonesia, terutama di
sebelah selatan garis katulistiwa diduga sebagai dampak fenomena El
Nino yang telah mencapai level moderat dan diprediksi akan menguat mulai
Agustus sampai dengan Desember 2015.
"Tren penguatan El Nino 2015 ini ditunjukan kenaikan indeks Enso dari 1,6 pada Juni menjadi 2,2 pada Desember 2015," katanya.
Andi
menjelaskan, daerah-daerah yang berpotensi terkena dampak El Nino 2015
meliputi Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan
Selatan dan Sulawesi Selatan.
"Musim kemarau di NTB dan NTT
diprediksi sampai November 2015. Sementara untuk di wilayah Jawa
diprediksi hingga Oktober 2015," ujar Andi.
Dampak musim kemarau yang panjang ini, telah mulai dirasakan begitu
'menyiksa' bagi sebagian besar masyarakat di beberapa daerah. Fakta di
lapangan rakyat sulit mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Jangankan sumur, kini, sungai hingga telaga danau pun sudah
kering kerontang.
Berebut air dengan beruang dan harimau
Memang,
masyarakat masih bisa mendapatkan air dengan jumlah yang sangat minim.
Tapi, itu pun harus didapatkan dengan cara mempertaruhkan nyawa.
Seperti
halnya yang dialami masyarakat di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera
Utara. Mereka rela menantang maut, secara tak langsung harus berhadapan
dengan binatang buas penghuni rimba hanya demi mendapatkan setetes air
Hariman
Siregar salah satunya, ia dan masyarakat setempat, kini mau tidak mau
harus pandai-pandai mencari waktu yang tepat untuk mengambil air bersih
di aliran sungai di dalam hutan yang selama ini dikenal sebagai tempat
Beruang dan Harimau Sumatera melepas dahaga.
Jika salah menerka
waktu saat mengambil air, risikonya, mereka bisa bertemu langsung dengan
satwa-satwa buas itu. Pertemuan dengan beruang dan harimau tentu bukan
pertemuan biasa, karena bisa saja satwa buas itu marah dan menyerang
karena merasa terusik dengan kehadiran manusia.
"Sumber air yang
masih tersedia cuma ada di Sungai Halongonan. Cuma risikonya kami bisa
berhadapan dengan Harimau atau Beruang. Mereka juga menggunakan air
itu," kata Hariman.
Menurut Hariman, waktu yang paling tepat
untuk masuk ke hutan berburu air adalah siang hari. Karena, biasanya
Beruang dan Harimau hanya akan menghabiskan waktu di sumber air itu di
sore hingga malam hari saja.
"Sumur-sumur sudah kering. Jadi bagi yang tak punya duit, mau tak mau ambil airnya ke dalam hutan," kata Hariman.
Berbagi air dengan sapi dan kerbau
Tak
jauh beda dengan apa yang dialami masyarakat di Kabupaten Sikka, Nusa
Tenggara Timur. Kekeringan juga memaksa mereka untuk rela berbagi air
dengan hewan ternak seperti sapi dan kerbau.
Fenomena ini
berlangsung di Desa Reroroja dan Desa Magepanda, dua desa yang berada di
sekitar pantai utara Kabupaten Sikka. Warga di dua desa ini, kini tak
lagi memiliki air bersih, sumur-sumur yang mereka miliki sudah mengering
sejak sebulan lalu.
Satu-satunya sumber air yang bisa
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan minum, mandi, dan cuci hanya
berasal dari Sungai Magepanda.
"Hanya di tempat ini yang masih
ada airnya dan itu pun kami harus berbagi dengan ternak-ternak," kata
Marsiadi, warga Desa Magepanda, Jumat 31 Juli 2015.
Memang, sapi
dan kerbau tidak bakal memangsa mereka. Tapi, penyakit yang terkandung
dalam kotoran hewan ternak itu, bisa saja mengancam jiwa mereka.
Setidaknya,
bibit penyakit yang ada dalam kotoran hewan ternak bisa masuk ke tubuh
mereka melalui air sungai yang tercemar kotoran sapi dan kerbau yang
beraktivitas di sekitar sumber air.
Namun, Marsiadi menuturkan,
warga tak lagi memikirkan apakah air yang mereka dapatkan di sungai itu
bebas dari bibit penyakit yang mungkin saja dibawa ternak.
"Mau bagaimana lagi, pemerintah pernah bantu, sediakan pipa dan penampungan air, tapi airnya tidak ada," ujarnya.
Agar
air yang didapatkan bisa dikonsumsi, warga berusaha melakukan
penyaringan dengan cara menggali lubang yang dibatasi dengan tanah dan
bebatuan kecil di sekitar sumber air.
Sementara hewan ternak
dibiarkan berendam dan meminum air ke dalam aliran sungai. "Ternak juga
butuh air, kita juga butuh air," katanya.
Berebut tetesan air di akar pohon
Masih dari Kabupaten Sikka. Kekeringan tak hanya melanda Desa Reroroja dan Desa Magepanda. Tapi juga melanda Desa Done.
Masyarakat
di Desa Done masih kurang beruntung dibandingkan dua desa sebelumnya.
Karena, di desa itu nyaris tidak ada lagi sumber air yang memancarkan
air dari dalam tanah dan yang mengalir di permukaan tanah.
Aloysius
Gehdo salah seorang warga Desa Dones menceritakan, masyarakat kini
hanya mengandalkan tetesan akar pohon sebagai sumber utama air.
Mirisnya,
air yang diteteskan dari akar pohon ke kubangan kecil sebagai penampung
itu, didapatkan dengan cara yang tak mudah. Karena, masyarakat kerap
harus saling berebut.
Aloysius Gehdo, mengaku sumber air dari
tetesan akar pohon tersebut sudah ada semenjak lama dan dimanfaatkan.
Sebab, sejak 2013, meski di desa mereka telah dibangun penampungan air
oleh pemerintah, namun tak bisa difungsikan.
"Sudah sejak belasan
tahun kami gunakan air di tetesan pohon. Bak penampung di desa selalu
kosong. Padahal, kami sudah dikutip uang Rp25 ribu per warga untuk
pembangunannya," ujar Aloysius.
Kini, pemandangan antrean ratusan warga untuk mengambil air dari tetesan air menjadi aktivitas harian warga sekitar.
Demi
menjaga ketersediaan, setiap warga dibatasi dua jerigen. Namun, bila
tetap tak mencukupi, seluruh warga diharuskan menunggu hingga enam jam,
agar air yang menetes dapat kembali mengisi kubangan.
Apa upaya pemerintah?
Presiden
Joko Widodo mengimbau masyarakat tak khawatir soal kekeringan yang
tengah terjadi. Pasalnya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman terus
berupaya mengatasi kekeringan yang melanda beberapa daerah di Indonesia.
"Memang alam seperti itu tetapi saya kira Mentan muter terus ke seluruh wilayah," kata Jokowi, Jumat 30 Juli 2015.
Jokowi
mengatakan, Mentan saat ini tengah berupaya mengairi persawahan dengan
cara memompa air ke lokasi yang memang membutuhkan. Cara ini diyakini
Jokowi tepat untuk mengatasi kekeringan saat ini. "Saya kira tahapan
yang paling cepat itu," kata dia.
Untuk jangka panjang,
pemerintah akan membangun waduk embung (waduk berukuran kecil) yang akan
dibangun di pelosok-pelosok. "Ada ribuan waduk mau kita bangun.
Kecil-kecil tapi di semua tempat. Kuncinya kekeringan ada tampungan
air," kata dia.
Jokowi mencontohkan Provinsi Nusa Tenggara Timur
yang sudah puluhan tahun mengalami kekeringan. Program pembangunan
embung salah satunya akan menyasar provinsi tersebut guna meningkatkan
produktivitas pertanian.
"Kenaikan produksi ada kalau kita mau
perbanyak waduk embung. Kuncinya di situ. Musim apapun El nino tampungan
air ada, ya, sudah," kata Jokowi.
Rencananya kementerian
pertanian akan menganggarkan Rp2 triliun untuk pembangunan embung di
seluruh Indonesia. Saat ini kementerian pertanian menyebut sudah
menyiapkan pembangunan tersebut untuk lahan seluas 3,3 juta dari 8 juta
hektar lahan tadah hujan.
Data kementerian pertanian menunjukkan
111.000 hektar lahan mengalami kekeringan sepanjang Januari-Juli 2015.
Gagal panen atau puso bahkan terjadi pada 8.000 hektar lahan. Jumlah
tersebut diklaim berkurang dibandingkan musim kekeringan pada periode
yang sama tahun 2014, yaitu 200.000 hektar lahan mengalami kekeringan
dan 35.000 hektar lainnya puso.
Tofik Koban/NTT dan Unggul Fahmi/Sumut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar