Dhani Irawan - detikNews
Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM)
Yasonna Laoly menyebut tetap memberikan remisi istimewa dalam rangka
peringatan Hari Kemerdekaan ke-70 ke seluruh napi. Langkah Yasonna itu
dianggap tak sesuai dengan peraturan masa kini.
Menanggapi hal
itu, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan bahwa remisi adalah hak dari
napi. Namun, Prasetyo ingin aturan mengenai remisi haruslah dibuat ketat
dan bersyarat.
"Remisi itu kan hak dari para napi. Tapi tetap
setelah menemui persyaratan yang ketat," kata Prasetyo saat berbincang,
Rabu (12/8/2015).
Prasetyo mengatakan selama ada landasan hukum
yang jelas maka remisi sah-sah saja diberikan pada para napi. Padahal
sejumlah pihak menganggap langkah Menkum Yasonna menggunakan Keppres
120/1955 dianggap tidak sesuai lagi dengan peraturan masa kini.
"Asalkan
ada aturan yang masih berlaku kan tidak masalah. Tahu sendiri kalau
remisi untuk koruptor ya menjadi justice collaborator, untuk napi
terorisme mengikuti program deradikalisasi," kata Prasetyo.
Langkah
Menkum Yasonna memang dianggap kontroversial. Lantaran, Keppres
120/1955 dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) masa
kini.
"Dasar Keppres tahun 1955 itu sudah sangat tidak sesuai
dengan peraturan perundangan yang ada sekarang. Seharusnya Keppres itu
sudah tidak bisa dijadikan lagi sebagai rujukan," ujar pengajar di
Fakultas Hukum UGM, Oce Madril dalam perbincangan, Senin (10/8/2015)
lalu.
Perihal pemberian remisi kepada narapidana diatur dalam UU
Nomor 12 Tahun 1995. Dalam UU itu disebutkan pengaturan lebih lanjut
mengenai syarat remisi diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Pemerintah
kemudian menerbitkan beberapa peraturan pemerintah dalam kurun waktu
yang berbeda terkait pengaturan remisi ini. PP terakhir yang digunakan
adalah PP 99/2012 yang diteken Presiden RI Keenam Susilo Bambang
Yudhoyono.
Terdapat sejumlah poin yang bertentangan dalam Keppres
120/1955 yang digunakan sebagai rujukan pemberian remisi istimewa
dengan PP 99/2012. Keppres menyebutkan seluruh narapidana mendapatkan
remisi kecuali napi dengan hukuman mati, seumur hidup, dan yang
melarikan diri.
"Memberikan pengurangan hukuman istimewa
sedjumlah satu perduabelas dari masa hukumannja dengan
setinggi-tingginja tiga bulan, kepada semua orang-orang hukuman jang
didjatuhi hukuman dengan putusan hakim jang tidak dapat dirubah lagi,"
demikian bunyi Keppres tersebut.
Sedangan PP 2012 mensyaratkan
napi tindak pidana khusus yakni narkoba kelas berat, terorisme dan
narkotika, mendapatkan remisi jika mampu memenuhi sejumlah syarat.
Syarat-syarat yang diatur dalam PP itu antara lain menjadi justice
collaborator dan mengikuti program deradikalisasi bagi napi terorisme.
"Serta menyatakan ikrar: 1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana
Warga
Negara Indonesia, atau 2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana
terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang
dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme," demikian penggalan
PP tersebut.
Mengenai adanya pertentangan-pertentangan antara
Keppres 120/1955 dengan PP 99 Tahun 2012 itu, Kepala Humas Ditjen PAS
Akbar Hadi mengatakan PP 94/2012 itu mengatur mengenai pemberian remisi
khusus dan umum saja. Sedangkan remisi dasawarsa kemerdekaan ini
merupakan jenis lain: remisi istimewa.
"Jadi tidak bertabrakan. Remisi istimewa ini beda dengan yang diatur di PP tersebut," ujar Akbar.
(dhn/elz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar