Rini Friastuti - detikNews
Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
menyebut bahwa para profesional di bidang keuangan dan hukum
(gatekeeper) memiliki potensi untuk terjerat kasus pencucian uang. Salah
satu profesi yang berpotensi besar adalah advokat.
"PPATK
menyebut ada sekitar 69 persen dari gatekeeper ini, advokat yang paling
rentan," ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia
(Peradi), Thomas Tampubolon usai diskusi 'Diseminasi Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang', di Gedung PPATK,
Jakarta Pusat, Kamis (6/8/2015).
Dirinya mengakui, profesi
advokat memang potensial dimanfaatkan pelaku pencucian uang."Advokat
memang potensial. Urus perkara pidana kliennya itu advokat dari awal,
sejak di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai di LP (lembaga
pemasyarakatan)," jelasnya.
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 43 tahun 2015, profesi advokat mengatasnamakan klien. Sama halnya
dengan profesi notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), akuntan, dan
akuntan publik.
"Lain dengan notaris, tidak atas nama kliennya. Jadi di sini (advokat) bisa aktif untuk terlibat," kata Thomas.
Tugas
advokat berkaitan dengan menjaga kerahasiaan klien. Para advokat dalam
UU Advokat dilarang membuka setiap rahasia kliennya. Mengacu pada PP
nomor 43 tahun 2015 tersebut, Thomas meminta PPATK untuk menjelaskan hal
mana saja yang berkaitan dengan klien yang perlu dilaporkan.
"PPATK harus jelaskan mana yang harus dilaporkan, karena tidak semua yang sifatnya rahasia harus dilaporkan," kata dia.
"Jadi
ini masih subjektif. Jadi agak susah PP ini dilakukan. Ke depan kita
harus kerja sama dengan PPATK supaya advokat ini tidak salah. Kan PPATK
yang ungkap 69 persen advokat itu potensial. Ini perlu dibicarakan
dengan PPATK, yang mana saja yang wajib dilaporkan," sambung Thomas.
(rii/hri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar