BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 26 September 2013

Mantan Hakim: PK Masih Kerap Salah Penerapan

Yogyakarta (Antara)- Mekanisme pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap masih sering salah penerapannya, kata mantan hakim di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sahlan Said.
"Peninjauan Kembali (PK) masih seringkali digunakan secara sembarangan terhadap kasus yang telah diputus Mahkamah Agung (MA)," kata Sahlan di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, justru saat ini penggunaan PK seringkali bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Mekanisme PK, kata dia, harus dikembalikan kepada sejarahnya, yang dimunculkan pascakasus yang menimpa Sengkon dan Karta pada 1974 yakni hanya boleh dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya dengan disertai adanya novum atau bukti baru.
"Upaya peninjauan kembali (PK) harus dikembalikan ke historisnya saat PK dicetuskan akibat dipicu kasus yang menimpa Sengkon dan Karta," katanya.
Menurut Sahlan, PK merupakan prosedur tidak lumrah yang tidak akan ditemukan di negara lain kecuali di Indonesia. Munculnya PK menurut dia karena adanya hakim yang tidak teliti dan cenderung ceroboh.
"Di negara mana pun tidak ada PK yang menganulir putusan Mahkamah Agung (MA) yang berkekuatan tetap. Di Indonesia bisa diterima karena hakimnya cenderung ceroboh terhadap adanya alat bukti yang lain,"katanya.
Ia mencontohkan, penerapan PK yang bertentangan dengan KUHP terjadi pada pertimbangan hukum dalam prosedur pengajuan PK putusan MA kepada mantan Direktur Utama PT Bahan Pembinaan Usaha Indonesia, Sudjiono Timan.
Dalam kasus tersebut, istri terdakwa kasus korupsi yang merugikan uang negara Rp2,1 triliun mengajukan PK terhadap putusan MA, yang akhirnya dikabulkan.
Padahal, lanjut dia, sesuai Pasal 263 ayat (1) KUHP, yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung hanya terpidana atau ahli warisnya, bukan istrinya.
"Istri Sudjiono seharusnya tidak dapat mengajukan PK, sebab yang bersangkutan belum meninggal dunia melainkan berstatus buron atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sehingga belum dapat dianggap sebagai ahli waris," katanya. (ar)

Tidak ada komentar: