BOGOR -
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, tidak ada pertentangan
antara demokrasi dengan Islam. Bahkan, keduanya bisa berjalan beriringan
dalam perkembangan demokrasi di tanah air.
"Tidak ada pertentangan antara demokrasi dengan Islam, bisa berdampingan secara damai," kata SBY dalam pidato puncak World Peace Forum ke-4 di Istana Bogor, Minggu (25/11). "Agama manapun saya kira compatible dengan demokrasi," sambungnya.
SBY menolak satu tesis yang menyebutkan bahwa Islam tidak bisa rukun dengan demokrasi. "Indonesia memiliki tradisi keislaman yang baik tapi juga menganut nilai-nilai demokrasi yang juga berlaku secara universal," terangnya.
World Peace Forum merupakan forum tingkat dunia dua tahunan yang diprakarsai oleh PP Muhammadiyah. Penyelenggaraannya bekerjasama dengan Cheng Ho Multicultural Education Trust yang berbasis di Malaysia, serta Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC). Tahun ini, forum mengambilk tema "Consolidating Multicultural Democracy".
Dalam bagian lain pidatonya, SBY menyatakan setuju dengan no single model democracy. Artinya, tidak bisa mencangkok demokrasi dari negara manapun untuk diterapkan di Indonesia. "Selalu ada nilai-nilai lokal, apakah itu nilai agama, budaya, dan ke-khas-an yang lain," ujarnya.
Saat ini, menurut SBY, terdapat tiga tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Yakni demokrasi yang masih dalam tahap pematangan, keberagaman identitas, dan demokrasi multipartai yang menyebabkan proses politik menjadi panjang dan kompleks.
Sementara itu, Chairman of the World Peace Forum Din Syamsuddin mengatakan, negara harus berperan dalam memperkuat dasar-dasar masyarakat multicultural demokratis. Caranya, membuka dan memfasilitasi dialog yang intensif dan berkelanjutan antar berbagai kelompok. "Baik di tingkat elit maupun akar rumput," katanya.
Terwujudnya masyarakat multicultural demokratis, lanjut dia, juga mensyaratkan beberapa prakondisi yang menjadi tanggung jawab negara. Yakni, menjunjung tinggi prinsip-prinsip rule of law dan penyelesaian perbedaan secara damai, serta terwujudnya kesejahteraan dan pembangunan yang berkeadilan.
"Jika kesejahteraan dan keadilan tidak dapat diwujudkan oleh negara, maka perbedaan identitas hanya akan menjerumuskan masyarakat ke dalam kekerasan komunal dan bahkan aksi separatisme," urai Din. (fal)
"Tidak ada pertentangan antara demokrasi dengan Islam, bisa berdampingan secara damai," kata SBY dalam pidato puncak World Peace Forum ke-4 di Istana Bogor, Minggu (25/11). "Agama manapun saya kira compatible dengan demokrasi," sambungnya.
SBY menolak satu tesis yang menyebutkan bahwa Islam tidak bisa rukun dengan demokrasi. "Indonesia memiliki tradisi keislaman yang baik tapi juga menganut nilai-nilai demokrasi yang juga berlaku secara universal," terangnya.
World Peace Forum merupakan forum tingkat dunia dua tahunan yang diprakarsai oleh PP Muhammadiyah. Penyelenggaraannya bekerjasama dengan Cheng Ho Multicultural Education Trust yang berbasis di Malaysia, serta Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC). Tahun ini, forum mengambilk tema "Consolidating Multicultural Democracy".
Dalam bagian lain pidatonya, SBY menyatakan setuju dengan no single model democracy. Artinya, tidak bisa mencangkok demokrasi dari negara manapun untuk diterapkan di Indonesia. "Selalu ada nilai-nilai lokal, apakah itu nilai agama, budaya, dan ke-khas-an yang lain," ujarnya.
Saat ini, menurut SBY, terdapat tiga tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Yakni demokrasi yang masih dalam tahap pematangan, keberagaman identitas, dan demokrasi multipartai yang menyebabkan proses politik menjadi panjang dan kompleks.
Sementara itu, Chairman of the World Peace Forum Din Syamsuddin mengatakan, negara harus berperan dalam memperkuat dasar-dasar masyarakat multicultural demokratis. Caranya, membuka dan memfasilitasi dialog yang intensif dan berkelanjutan antar berbagai kelompok. "Baik di tingkat elit maupun akar rumput," katanya.
Terwujudnya masyarakat multicultural demokratis, lanjut dia, juga mensyaratkan beberapa prakondisi yang menjadi tanggung jawab negara. Yakni, menjunjung tinggi prinsip-prinsip rule of law dan penyelesaian perbedaan secara damai, serta terwujudnya kesejahteraan dan pembangunan yang berkeadilan.
"Jika kesejahteraan dan keadilan tidak dapat diwujudkan oleh negara, maka perbedaan identitas hanya akan menjerumuskan masyarakat ke dalam kekerasan komunal dan bahkan aksi separatisme," urai Din. (fal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar