JAKARTA - Polisi menahan empat tersangka pembobolan dana Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Jalan Gatot Subroto, Jakarta, sebesar Rp 75 miliar.
Dua di antaranya adalah orang dalam bank
itu. Yakni, Aulia, 42, marketing manager BSM Cabang Gatot Subroto; dan
Febi, 38, trade specialist officer Kantor Pusat BSM.
Namun, berdasar penyidikan polisi, otak pembobolan BSM tersebut adalah Ivan, 42, seorang pialang (trader).
Selain Aulia dan Febi, warga Casa
Jardin, Daan Mogot, Jakarta Barat, itu dibantu seorang mediator bernama
Rudi, 37. Nah, uang hasil tindak kejahatan tersebut dipakai untuk
foya-foya serta membeli sejumlah mobil mewah dan rumah.
Menurut Kasubdit Fismondev Ditreskrimsus
Polda Metro Jaya AKBP Arie Ardian, kasus itu bermula saat Ivan dibantu
Aulia, Febi, dan Rudi menawarkan kerja sama ke PT Pos Properti Indonesia
(PPI) pada Juli tahun lalu.
Mereka menawarkan jasa investasi dengan
bunga di atas rata-rata bunga bank. ”Yakni, sebesar 11 persen,” ujar dia
di Mapolda Metro Jaya Senin (2/2).
Tawaran kerja sama itu bersambut. PPI
memberikan kucuran dana Rp 75 miliar berupa cek BNI. Selanjutnya,
melalui Aulia, cek tersebut dipindahkan ke rekening tabungan Rudi di
BSM. Kemudian, Rudi mengalihkan dana itu ke deposito atas nama PPI
sebesar Rp 50 miliar. Nah, sisa uang Rp 25 miliar ternyata dibagi-bagi
para pelaku melalui transfer.
Kejahatan tersebut terungkap setelah PPI
komplain ke Ivan. Sebab, uang dalam deposito berkurang hingga tinggal
Rp 50 miliar. Namun, pelaku terbilang cerdik. Untuk menutup kekurangan
Rp 25 miliar itu, dia menjalin lobi atau kerja sama tipu-tipu dengan
perusahaan lain.
Akhirnya, Ivan yang memang berpenampilan perlente menggaet PT Hayashi, perusahaan bidang properti asal Bali.
Ivan pun berkomplot dengan Yosikana,
Dirut PT Hayashi. Keduanya seolah-olah memiliki proyek besar berupa
pembangunan 50 unit vila di Jimbaran, Bali. Ivan lalu mengajukan kredit
ke BSM dengan jaminan deposito uang milik PPI sebesar Rp 50 miliar
tersebut.
Karena sudah berkomplot dengan orang
dalam BSM, tentu langka Ivan mulus. Akhirnya, keluar surat kredit
berdokumen dalam negeri (SKBDN) Bank Syariah Mandiri sebesar Rp 50
miliar. ’’Proyek vila di Bali itu sebenarnya fiktif juga,” ungkap polisi
dengan dua melati di pundak itu.
Nah, SKBDN itu kemudian dicairkan
Yosikana. Namun, kredit Rp 50 miliar itu tidak diterima utuh. Ada
potongan atau diskon 10 persen sehingga jumlah uang yang keluar tinggal
Rp 45,6 miliar.
Uang tersebut lalu ditransfer ke
rekening perantara antarkantor (RPAK). Dari Rp 45,6 miliar itu, sebesar
Rp 25 miliar diambil Ivan untuk menutupi uang sisa yang dipertanyakan
PPI. Sisanya kembali dibuat bancakan oleh para pelaku.
Namun, sepandai-pandainya tupai melompat
pasti akan jatuh juga. Begitu pula aksi pembobolan yang dilakukan Ivan
cs. Pada 15 Oktober kedok Ivan terbongkar. Saat itu BSM menemukan
keanehan pada deposito milik PPI yang harus dicairkan pada 17 Oktober
2014.
Petinggi BSM kaget lantaran merasa
ditipu dengan mengeluarkan SKBDN sebesar Rp 50 miliar. Mereka akhirnya
melaporkan kejadian itu ke Polda Metro Jaya. ”Kami menemukan bukti,
bilyet deposito Rp 50 miliar untuk syarat SKBDN ternyata palsu,” tandas
Arie.
Polisi lantas bergerak cepat. Secara
bertahap, mulai 22 Desember 2014 hingga 19 Januari 2015, keempat pelaku
bisa diciduk dari tempat tinggalnya masing-masing. Selain itu, polisi
menyita sejumlah barang yang diduga dibeli pakai uang hasil kejahatan
tersebut. Di antaranya, beberapa unit mobil mewah.
Kini keempat pelaku mendekam di sel
tahanan Mapolda Metro Jaya. Mereka terancam lama hidup di balik jeruji
besi. Sebab, para tersangka dijerat pasal berlapis. Antara lain, pasal
63 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 3,4,5 UU
Nomor 08 Tahun 2010 tentang TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), dan
pasal 263,266,372 serta 378 KUHP. ”Masing-masing hukuman selama 7–20
tahun penjara,” jelas Arie.
Meski berhasil membekuk empat pelaku,
tugas polisi belum tuntas. Sebab, ada beberapa pelaku lain yang masih
diburu. Yakni, Yosikana. Menurut Arie, aparat juga berkoordinasi dengan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri
rekening dan aliran dana mereka. ”Kami terus kembangkan untuk mencari
tersangka baru,” ungkapnya. (all/co1/hud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar