Lani Pujiastuti - detikfinance
Jakarta -Paket kebijakan ekonomi jilid IV baru saja
diumumkan. Pemerintah pimpinan Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan formula
baru perhitungan kenaikan upah minimum tiap tahun. Sayangnya, buruh
menyatakan tidak puas dengan dikeluarkannya kebijakan ini. Rumusan
tersebut dinilai belum mengakomodir rumusan Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
yang menjadi acuan upah minimum.
"Pertama yang harus dibenahi
bukan kenaikan tiap tahun. Lebih dulu harus merevisi komponen KHL
(Kebutuhan Hidup Layak). UMP (Upah Minium Provinsi) kita jelas-jelas
tertinggal dari negara tetangga. Tiga poin utama KHL belum memenuhi
standar yaitu tempat tinggal, transportasi, dan makan," ungkap Muhamad
Rusdi, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)
ketika dihubungi
detikFinance, Kamis (15/10/2015).
Buruh,
kata Rusdi, akan menolak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP)
terkait pengupahan kalau hanya menentukan formula kenaikan upah setiap
tahun. "Kalau hanya menentukan kenaikan tiap tahun yaitu UMP ditambah
inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kita menolak," tegasnya.
PP
tersebut menurutnya membatasi upah buruh yang memang sudah jauh
tertinggal dari negara lain. "Di negara tetangga seperti Malaysia dan
Thailand saja sudah Rp 4 juta. Kita harus kejar ketertinggalan itu
dulu," tambahnya.
Formula kenaikan upah, kata Rusdi, kalau
dihitung dari inflasi 5% ditambah pertumbuhan ekonomi 4,7% itu artinya
setiap tahun naik tidak sampai 10%.
"Naik nggak sampai 10%.
Paling tinggi Rp 200-300 ribu naiknya kalau UMP Rp 2-3 juta. Apalagi
Jawa Tengah, UMP hanya Rp 1,2 juta, berarti kenaikan upah tiap tahun
hanya Rp 100 ribu. Itu kecil sekali. Nggak akan ngejar," katanya.
PP
pengupahan menurutnya hanya mengakomodir kepentingan pengusaha. "Buruh
kerja tapi penghasilannya sangat terbatas. PP Pengupahan hanya memenuhi
kepentingan pengusaha yang ingin mendapat upah murah," jelasnya.
Rusdi
menjelaskan, pemerintah mestinya fokus pada revisi KHL terlebih dahulu.
"Komponen KHL yang harus direvisi contohnya pertama komponen biaya
rumah. Di beberapa daerah besarannya hanya Rp 300-400 ribu. Padahal
kenyataannya cicilan rumah nggak ada yang segitu. Riilnya Rp 700.000
sampai Rp 1 juta per bulan," terangnya.
Kedua, kata Rusdi, yaitu
biaya transportasi. Selama ini biaya transportasi hanya dihitung satu
kali jalan. "Padahal pulang pergi bisa 2 kali ganti kendaraan. Misal
dari bis ke angkot atau ojek. Itu besarannya hanya Rp 200-300 ribu.
Mestinya dua kali kipat karena biaya pulang belum dihitung. Jadinya Rp
500-600 ribu," tuturnya.
Ketiga, lanjutnya, yaitu uang makan.
"Kebutuhan hidup layak kalau di Jabodetabek itu kan pagi buruh makan
nasi uduk atau bubur Rp 15.000. Lalu siang makan gado—gado, warteg atau
nasi padang Rp 15.000. Kemudian malam nasi goreng Rp 15.000. Itu sehsri
Rp 45.000 dikalikan 30 hari sudah Rp 1,35 juta," paparnya.
Biaya
tempat tinggal, makan dan transportasi dijumlahkan minimal Rp 2,9 juta.
Itu pun belum termasuk kesehatan, pendidikan, sandang dan lainnya.
"Lalu apakah terpikir bagaimana menaikkan UMP Jateng yang hanya Rp 1,2
juta?" imbuhnya.
Komponen yang belum masuk dalam KHL dan
semestinya masuk, Rudi menjelaskan seperti kebutuhan sandang yaitu kaos,
alas kaki, dan jaket, sampai minyak wangi.
Singkatnya, menurut
Rusdi, jika ingin menyejahterakan buruh, KHL harus direvisi dan besaran
kenaikan diubah. "Awalan kenaikan upah Jabodetabek, Karawang dan
Purwakarta minimal naik 22% dan Jateng harus bersaing sampai minimal Rp 3
juta atau naik hampir 300%. Buruh ini urat nadi industri. Kami sudah
bicara ke Menaker pun tidak direspon," pungkasnya.