Bahtiar Rifai - detikNews
Jakarta - Salim alias Kancil dan istrinya Tijah buta huruf. Tapi
mereka tidak buta hati. Salim terus berjuang mempertahankan tanahnya
dari kesewenang-wenangan Kades Selok Awar-awar Hariyono, sampai mati.
Saat
diwawancarai majalah detik, Tijah, istri Salim bercerita soal momen
pilu saat Salim dianiaya sampai tewas oleh Tim 12, preman bentukan
Hariyono. Dia juga menceritakan awal mula perjuangan Salim saat tanah
garapannya gagal panen karena dijadikan area parkir alat berat tambang
pasir ilegal.
Salim memprotes penambangan pasir karena menjadi
korban. Ia tidak bisa lagi bekerja di sawah karena lahannya itu
dijadikan tempat parkir penambangan. Ia dijanjikan akan mendapat bagi
hasil dari lahan parkir itu. Tapi janji itu tidak ditepati. Salim hanya
dipingpong saat minta uang bagi hasil parkir.
"Saya malu, Tik
(Tijah), minta-minta begitu. Saya mau berjuang seperti Pak Karno saja,"
kata Tijah menirukan ucapan Salim saat diwawancarai majalah detik.
Salim bertekad berjuang untuk tanah dan penghasilannya. Bahkan dia
teringat perjuangan Bung Karno. Namun dia malah mendapat ancaman, teror,
sampai penganiayaan hingga tewas.
"Wis (sudahlah) akhirnya tidak
pernah minta lagi sampai sekarang. Terus ada musyawarah. Pak Salim
bilang, "Harta enggak masalah diambil, tapi hati ini sakit. Saya mau
berjuang kayak Bung Karno. (Tapi kemudian bilang) Wong nulis saja enggak
bisa, kok mau kayak Bung Karno." Sama saya guyon seperti itu," demikian
cerita Tijah lagi.
Setelah sawah rusak, Salim hanya bisa bekerja
mencari ikan dan serabutan. Kadang-kadang mencari rumput untuk makan
ternak sapi. Dari hasil kerja itu, Salim mendapat uang Rp 10.000 per
hari. "Wis pokoke bisa makan," imbuh Tijah.
Saat kejadian pembunuhan Salim, Tijah tak tahu. Yang tahu pertama kali malah cucunda Salim. Begini cerita lengkapnya:
Waktu
kejadian, saya enggak tahu. Kalau cucunya itu tahu. Saya waktu itu cari
pakan kambing, rambanan (daun-daunan). Itu jauh dari rumah. Anak mantu
saya bilang, "Ibu, pulang, Bapak dibawa ke balai desa." Saya enggak
terkejut kalau (Bapak) dipanggil ke balai desa, itu memang sudah biasa.
Saya kira tidak ada apa-apa.
Sudah sampai sini (rumah),
adik ipar saya bilang, "Sudah, Yu, enggak usah dibawa makanan
kambingnya, taruh di sini saja." Terus, "Sudah, Yu, enggak usah kasih
makan kambing. Kakak sudah meninggal sudah dikeroyok orang. Ada di sana,
di samping kuburan." Ya, saya terkejutlah. Saya diam. Terus ada saudara
datang, (memberi nasihat), "Pak Salim begini, enggak usah panik,
gelisah. Kalau (kamu) gelisah, anak siapa yang urus." Ya, sudah, saya
berusaha tegar.
Sampai di sana (dekat kuburan) sudah ada
banyak polisi di lokasi. Aku mau nyamperin enggak boleh sama
orang-orang. Ya, saya nurut. Namanya istrinya, saya sudah stres. Ini
gara-gara Kepala Desa.
Suami saya tidak sembarangan
demo. Ini sudah lapor. Sudah lapor Jakarta, Surabaya, Malang juga sudah.
Di rumah, ia dikit-dikit lapor. Bulan puasa juga sudah disamperin sama
orang-orang itu. Itu Tim 12 (tim yang dibentuk Kepala Desa Selok
Awar-Awar Hariyono).
Saya sih enggak tahu. Tapi suami
cerita, "Tik, saya tadi mau dibunuh sama tim-tim itu." Lantas saya
tanya, "Kamu salah apa memang?" Suami saya jawab, "Aku enggak salah.
Wong aku ditantang main celurit sama Pak Desir. Pak Desir teriak,
keluar, ambil celurit kamu." Pak Kancil menjawab, "Saya bukan orang
gila. Saya dipegang sama pemerintah. Saya punya hukum. Kalau kamu enggak
punya hukum, silakan bunuh saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar