Pewarta: Abdul M Ibrahim
Surabaya (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Institute for Development of
Economics and Finance (INDEF), Aviliani, menilai penguatan rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat bukan disebabkan paket kebijakan bertahap
yang dikeluarkan pemerintah.
"Penyebab penguatan rupiah itu lebih karena global, semua mata uang
dunia menguat. Jadi masih belum normal lagi, dan ini belum fundamental
karena kita ini bisa terus menguat," ucap Aviliani, saat ditemui dalam
Kongres Ikatan Sarjana EkonomI Indonesia (ISEI), di Surabaya, Rabu.
Ia menjelaskan, paket kebijakan ekonomi pemerintah bersifat jangka
panjang, sedangkan penguatan rupiah dalam beberapa hari ini hanya
sementara dan bersifat pendek.
Oleh karena itu, Aviliani meminta publik mewaspadai penguatan
rupiah dalam beberapa hari terakhir, sebab dampaknya jangka pendek.
"Jangan disikapi dengan senang-senang dulu, karena ini masih
fluktuatif. Orang yang berfluktuasi dengan jual-beli dolar juga masih
ada," ucapnya.
Ia menyebutkan, secara domestik penguatan nilai tukar rupiah
terhadap dolar juga dialami mata uang lain di dunia, tak hanya
Indonesia.
Selain itu, kebijakan pemangkasan pajak bunga deposito bagi devisa
hasil ekspor (DHE) yang disimpan di bank-bank luar negeri, juga belum
menjamin stabilitas nilai tukar rupiah.
"Saat ini memang ada respon terkait dengan DHE pajak lima persen
atau 25 persen yang akan diharapkan dana-dana bisa masuk, tapi itu kan
butuh waktu," katanya.
Ia menilai pemangkasan DHE harus diikuti dengan kebijakan lain untuk
meningkatkan dana masuk, seperti dari kegiatan ekspor, sektor
pariwisata, maupun sumber-sumber dana lain yang lebih besar, sehingga
penguatan rupiah bisa terus stabil.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di
Jakarta pada Rabu pagi bergerak menguat sebesar 256 poin menjadi
Rp13.985 dibandingkan posisi sebelumnya di posisi Rp14.241 per dolar
Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar