BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 03 September 2013

Preseden Buruk dari Anggota BPK

PLASADANA.COM - Uji materi terhadap pembatasan masa jabatan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan masih menanti keputusan Mahkamah Konstitusi. Pasal digugat demi hasrat lebih lama duduk di kursi empuk sebagai pejabat.
Bahrullah Akbar, Anggota BPK yang dilantik menggantikan Tengku Muhammad Nurlif pada 10 November 2011 oleh Ketua BPK  Hadi Purnomo, sejatinya hanya penggantiantar waktu. Namun dia merasa berhak menjabat lima tahun seperti anggota lain yang dipilih melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Seperti disampaikan Lili Asdjudireja, anggota DPR dari Fraksi Golkar, sesuai Undang-Undang BPK, seharusnya masa jabatan Bahrullah berakhir Oktober 2014, sesuai sisa masa jabatan yang digantikan. Namun dia menggugat Pasal 22 ayat 1 dan ayat 4 UU BPK tentang masa jabatan pengganti antarwaktu itu. Dia ingin masa jabatannya berakhir Oktober 2016.
Lili Asjdjudireja mengingatkan, sebenarnya gugatan tersebut kebablasan. Konstitusi sudah mengatur agar dalam melaksanakan hak konstitusional, maka kebebasan itu diberikan batasan.
Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28. Pada ayat penutupnya, yaitu Pasal 28J Ayat 2 ditegaskan: “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.” Tapi konstitusi ini tidak diamini oleh Bahrullah.
Menurut Lili, Bahrullah Akbar mestinya memahami hal itu secara sadar, ketika diterima menjadi anggota BKP antarwaktu. Mekanismenya sudah ada. Pengabdiannya, berdasarkan Undang-Undang BPK dibatasi oleh periode sisa waktu anggota yang digantikannya.
“Sejauh semua hak yang dinyatakan dalam Pasal 22 tersebut telah dipenuhi, tidak ada hak-hak konsitusinya yang dilanggar atau tidak diperolehnya,” tandas Lili.
Karena itu, dalil gugatan Bahrullah Akbar bahwa hak konstitusinya dilanggar lantaran UU BPK membatasi masa jabatannya, tidak beralasan. Malah bisa jadi preseden buruk dalam pelaksanaan konsitusi di Indonesia. “Apalagi mengacu pada UUD yang saya sebutkan tadi,” katanya.
Lili menegaskan, semua sudah dalam koridornya. “Bisa Anda bayangkan jika Anggota DPR pengganti antarwaktu ikut menjabat lima tahun. Berapa biaya yang harus dikeluarkan ketika masa jabatannya habis, sementara kursinya harus diisi lewat pemilihan umum,” paparnya, memberikan amsal.
Selain itu, Lili juga menegaskan bahwa hukum bukan pada tempatnya untuk mengakomodasi kepentingan pribadi seseorang. Hukum hadir demi kepentingan umum dan kepentingan negara.
Kehadiran Pasal 22 pada UU BPK itu memperlihatkan bahwa pembuat undang-undang sudah mengantisipasi kemungkinan yang bisa terjadi kemudian hari. Dalam hal ini, ada anggota BPK yang tidak sampai tuntas dengan berbagai alasan yang bisa diterima.
Dengan pertimbangan itu, dibuat jalan keluar. Yakni, menggunakan sistem penggantian antarwaktu (PAW). “Ini memperlihatkan bahwa pembuat undang-undang sudah menerapkan prinsip-prinsip yang baik dan benar,” ujarnya.
Kondisinya akan berbeda, ungkap Lili, seandainya pasal yang digugat oleh Bahrullah itu dianggap dapat menghambat kinerja institusional BPK. Dalam konteks ini memang bisa melanggar kepentingan umum maupun negara.
“Saya yakin, hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi bisa bersikap arif dan tidak akan mengorbankan kepentingan negara demi kepentingan individu. Kita lihat saja nanti keputusannya,” katanya.
Penulis: Fachrurozi

Tidak ada komentar: