Jakarta (ANTARA
News) - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan
pengujian sebanyak 16 pasal dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2011
tentang Intelijen Negara yang dimohonkan oleh sejumlah LSM pemerhati
HAM dan warga negara yang mengaku sebagai korban operasi intelijen.
"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata
Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, saat membacakan putusan, di Jakarta,
Rabu.
Menurut Mahfud, pokok permohonan yang diajukan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dalam pertimbangannya, mahkamah menilai adanya kekhawatiran pemohon
terhadap keberadaan pasal yang dapat dijadikan legitimasi untuk
disalahgunakan oleh pihak intelijen merupakan kekhawatiran traumatis
berdasarkan sejarah.
"Perubahan zaman menuntut perubahan paradigma intelijen. Intelijen
merupakan lembaga yang dibutuhkan oleh negara," kata Hakim Konstitusi
Anwar Usman saat membacakan pertimbangannya.
Oleh karena itu, lanjut Anwar, untuk menerapkan prinsip
proporsional agar kebutuhan intelijen tidak diartikan dengan
penyalahgunaan kewenangan intelijen maka perlu adanya pengendalian dan
pengawasan dalam peraturan perundang-undangan pelaksananya.
MK juga menilai dalam UU Intelijen ini juga secara tegas juga memisahkan fungsi intelijen dari fungsi penegakan hukum.
"Fungsi penegakan hukum tetap harus dipegang oleh kepolisan dan
kejaksaan, dan tidak dapat dipindahtangankan kepada aparat intelijen,"
katanya.
Anwar mengatakan bahwa intelijen merupakan bagian dari sistem peringatan dini yang tidak memiliki kewenangan penindakan.
Hakim Konstitusi Achmad Falil Sumadi mengatakan dalam UU Intelijen
telah memberikan batasan dan prosedur yang jelas dalam melakukan
penggalian informasi dan dengan memperhatikan hak asasi manusia.
"Penggalian informasi yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) tidak dapat dilakukan sewenang-wenang," katanya.
Mahkamah juga menyatakan kewenangan penyadapan yang diatur dalam UU Intelijen ini juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengatakan sebagai penyelenggara
intelijen negara, BIN menyelenggarakan ketiga fungsi intelijen yaitu
penyelidikan, pengamanan dan penggalangan baik di dalam maupun luar
negeri.
"Kewenangan BIN tidak berarti kewenangannya tidak tak terbatas.
Kewenangan BIN dibatasi oleh perundang-undangan maupun pengawasan ketat
oleh DPR," kata Akil.
Seperti diketahui, permohonan pengujian 16 Pasal UU Intelijen ini
diajukan sebanyak 18 pemohon, diantaranya Aliansi Jurnalis Independen
(AJI), Elsam, Imparsial, Setara Institute, YLBHI dan sejumlah warga
negara.
Pemohonan perorangan ini diantaranya Mugiyanto, Hendrik Dikson
Sirait, Asiah, Dorus Wakum, Abdul Bashir, Suciwati, Bedjo Untung, dan
Edi Arsadad.
Pemohon menilai ke-16 ketentuan bermasalah adalah Pasal 1 ayat (4),
ayat (8), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa dan/atau Pihak
Lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon mengatakan bahwa ketentuan di dalam beberapa pasal tersebut
telah melahirkan sejumlah definisi yang karet mengenai ancaman,
keamanan, kepentingan nasional, dan pihak lawan, sehingga potensial
untuk disalahgunakan oleh penyelenggara intelijen negara maupun atau
kepentingan kekuasaan, untuk melakukan tindakan-tindakan represif
terhadap warga negara atau kelompok yang tidak sejalan dengan
kepentingan kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar