Semarang (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mendukung inisiatif Komisi Yudisial (KY) yang akan memproses dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Hakim Agung Ahmad Yamani.

"Langkah ini penting untuk kepentingan pembelajaran sistem pencegahan dan penegakan pelanggaran kode etik," katanya, usai "Sosialisasi dan Kerja Sama Penegakan Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu" di Semarang, Senin.

Jangan sampai, kata dia, orang yang melakukan pelanggaran diambil keputusan tanpa melalui proses penegakan hukum atau etika yang proporsional, termasuk hakim agung karena Indonesia memiliki lembaga khusus, yakni KY.

Menurut dia, KY harus diberikan kesempatan untuk menjalankan tugasnya dan jangan ada keputusan secara sepihak terlebih dahulu atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Yamani dengan menyetujui pengunduran dirinya.

"Ini bukan hanya menyangkut Yamani, bukan hanya menyangkut kasus dia, tetapi untuk pembelajaran sistem pencegahan dan penegakan pelanggaran kode etik ke depan," kata pakar hukum tata negara tersebut.

Berkaitan dengan langkah Yamani yang sudah mengajukan permohonan mengundurkan diri, ia mengatakan sebaiknya Presiden jangan menyetujuinya terlebih dulu sebelum yang bersangkutan menjalani proses pemeriksaan di KY.

"Jangan diterima dulu pengunduran dirinya, harus berproses dulu. Sebab, kalau mengundurkan diri maka surat keputusan (SK) pemberhentian dari Presiden bisa menyatakan yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat," katanya.

Namun, jika diberhentikan, lanjut dia, SK pemberhentiannya bisa menyatakan diberhentikan dengan tidak hormat sehingga yang bersangkutan harus menjalani proses dulu di KY terkait dugaan pelanggaran kode etik.

"Kata-kata itu memang sisi kecil, tetapi penting. Kalau langsung disetujui pengunduran dirinya, yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat, bahkan dengan pujian. Tidak sehat kalau seperti itu," katanya.

Karena itu, Jimly mendukung KY untuk memproses terlebih dulu Yamani atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukannya dan Presiden pun harus mendukung dengan menunda menerbitkan SK pemberhentian.

Seperti diwartakan, MA mengakui mundurnya Hakim Agung Yamani selain karena sakit juga karena alasan lain, yakni lalai dalam menuliskan vonis untuk gembong narkoba Hengky Gunawan.

Pemeriksa MA menemukan tulisan tangan dari Yamani yang menuliskan hukuman pidana penjara 12 tahun, sementara kedua hakim lainnya tidak setuju gembong narkoba itu dipidana 12 tahun, melainkan 15 tahun.

Hengky adalah pemilik pabrik ekstasi di Surabaya yang telah divonis Pengadilan Negeri Surabaya 17 tahun penjara, atas putusan itu Hengky mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya dan hukumannya ditambah menjadi 18 tahun.

Produsen narkoba ini kembali berupaya mengajukan kasasi ke MA, namun putusan peradilan tertinggi memutus hukuman mati kepadanya, kemudian Hengky mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK).

Oleh majelis hakim PK Hakim Agung Imron Anwari, Hakim Nyak Pha, dan Hakim Yamani, hukuman Hengky dipangkas menjadi 15 tahun penjara, namun dalam salinan putusan yang dikirimkan pada pihak berperkara ditulis 12 tahun penjara. (ZLS/I007)