VIVAnews
- Indonesia merupakan salah satu negara tujuan wisatawan manca negara
karena masih memiliki pemandangan alam yang indah dan seni budaya serta
keramahan masyarakat yang tak perlu diragukan lagi.
Namun di balik itu semua, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana yang dapat mengancam kunjungan wisatawan manca negara ke Indonesia.
Direktur Magister Studi Manajemen Bencana, Sekolah Pascasarjana UGM, Prof. Dr, Sudibyakto, mengatakan Indonesia memiliki setidaknya 13 tipe bencana, baik bencana yang datang dari alam maupun dari hasil perbuatan manusia.
Bencana itu di antaranya, banjir, erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, kekeringan, hingga kebakaran hutan. Tiap kali bencana itu muncul, bisa memberikan dampak ekonomi cukup besar dan salah satunya dari sektor industri pariwisata.
"Sektor ini sangat rentan terhadap persepsi publik karena alasan keselamatan dan kesehatan sehingga membutuhkan strategi untuk mengurangi dampak risiko yang ditimbulkan," katanya, Senin 15 September 2014.
Menurutnya, meski pemerintah telah membentuk badan yang khusus menangani penanggulangan bencana baik di tingkat pusat dan daerah, namun antisipasi dan mitigasi bencana untuk daerah yang menjadi tujuan wisata dinilai masih sangat kurang.
Padahal menurut Sudibyakto, industri pariwisata saat ini menjadi salah satu sumber pendapatan dan penghasil devisa terutama bagi daerah yang minim sumber daya alam seperti di Yogyakarta dan Bali.
Guna mengurangi dampak kekhawatiran pengunjung terhadap ancaman risiko bencana, Sudibyakto menegaskan upaya melakukan penilaian risiko dan pemasangan sistem peringatan dini risiko bencana menjadi sebuah keharusan. Hal itu bisa dilakukan oleh pemerintah, masyarakat lokal dan pelaku industri pariwisata.
"Ini jauh lebih efektif ketimbang hanya mengandalkan proses pemulihan pasca bencana," ujarnya.
Bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tahun 2006 menurutnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak tentang pentingnya manajemen penanggulangan bencana.
"Keduanya menjadi bukti bahwa kita membutuhkan strategi pengurangan risiko bencana," kata Sudibyakto.
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota dari University of Hawaii, Amerika Serikat, Dolores Foley, menambahkan, selama satu dekade terakhir, sejumlah bencana memberikan dampak sangat buruk bagi daerah yang memiliki tujuan wisata pesisir.
Namun di balik itu semua, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana yang dapat mengancam kunjungan wisatawan manca negara ke Indonesia.
Direktur Magister Studi Manajemen Bencana, Sekolah Pascasarjana UGM, Prof. Dr, Sudibyakto, mengatakan Indonesia memiliki setidaknya 13 tipe bencana, baik bencana yang datang dari alam maupun dari hasil perbuatan manusia.
Bencana itu di antaranya, banjir, erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, kekeringan, hingga kebakaran hutan. Tiap kali bencana itu muncul, bisa memberikan dampak ekonomi cukup besar dan salah satunya dari sektor industri pariwisata.
"Sektor ini sangat rentan terhadap persepsi publik karena alasan keselamatan dan kesehatan sehingga membutuhkan strategi untuk mengurangi dampak risiko yang ditimbulkan," katanya, Senin 15 September 2014.
Menurutnya, meski pemerintah telah membentuk badan yang khusus menangani penanggulangan bencana baik di tingkat pusat dan daerah, namun antisipasi dan mitigasi bencana untuk daerah yang menjadi tujuan wisata dinilai masih sangat kurang.
Padahal menurut Sudibyakto, industri pariwisata saat ini menjadi salah satu sumber pendapatan dan penghasil devisa terutama bagi daerah yang minim sumber daya alam seperti di Yogyakarta dan Bali.
Guna mengurangi dampak kekhawatiran pengunjung terhadap ancaman risiko bencana, Sudibyakto menegaskan upaya melakukan penilaian risiko dan pemasangan sistem peringatan dini risiko bencana menjadi sebuah keharusan. Hal itu bisa dilakukan oleh pemerintah, masyarakat lokal dan pelaku industri pariwisata.
"Ini jauh lebih efektif ketimbang hanya mengandalkan proses pemulihan pasca bencana," ujarnya.
Bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tahun 2006 menurutnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak tentang pentingnya manajemen penanggulangan bencana.
"Keduanya menjadi bukti bahwa kita membutuhkan strategi pengurangan risiko bencana," kata Sudibyakto.
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota dari University of Hawaii, Amerika Serikat, Dolores Foley, menambahkan, selama satu dekade terakhir, sejumlah bencana memberikan dampak sangat buruk bagi daerah yang memiliki tujuan wisata pesisir.
Dia menyebutkan, di
Indonesia ada 28 wilayah yang rawan terkena gempa dan tsunami, termasuk
daerah yang menjadi favorit tujuan wisata seperti Bali, NTB dan NTT.
Menurutnya, Bali rawan terkena gempa karena berada di posisi cincin api
pasifik.
"Bali termasuk daerah berisiko kena tsunami tinggi dengan pantai dataran rendah, tapi untungnya dilindungi oleh pulau Jawa dan Sumatera dari kejadian tsunami di samudera Hindia tahun 2004," ujarnya.
Seperti diketahui, wilayah lain yang berisiko terkena gempa dan tsunami tersebut diantaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen, Fak-fak, dan Balikpapan.
Dia menambahkan, daerah yang memiliki risiko terkena bencana menurutnya membutuhkan sebuah hasil penelitian dalam memberikan informasi yang tepat dalam mengantisipasi dampak bencana yang kemungkinan suatu saat bisa saja muncul.
"Komunikasi yang efektif, perencanaan, dan kemitraan antara masyarakat dan pengelola pariwisata sangat dibutuhkan," katanya.
"Bali termasuk daerah berisiko kena tsunami tinggi dengan pantai dataran rendah, tapi untungnya dilindungi oleh pulau Jawa dan Sumatera dari kejadian tsunami di samudera Hindia tahun 2004," ujarnya.
Seperti diketahui, wilayah lain yang berisiko terkena gempa dan tsunami tersebut diantaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen, Fak-fak, dan Balikpapan.
Dia menambahkan, daerah yang memiliki risiko terkena bencana menurutnya membutuhkan sebuah hasil penelitian dalam memberikan informasi yang tepat dalam mengantisipasi dampak bencana yang kemungkinan suatu saat bisa saja muncul.
"Komunikasi yang efektif, perencanaan, dan kemitraan antara masyarakat dan pengelola pariwisata sangat dibutuhkan," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar