Rina Atriana - detikNews
Jakarta - Hakim Agung Artidjo Alkostar selama ini
dikenal 'killer' bagi terdakwa koruptor. Vonis yang berat buat koruptor
bagi Artidjo adalah hasil cerminan dari banyak dimensi. Dimensi keilmuan
hukum, hukum alam buatan Tuhan hingga hubungan pribadinya dengan Tuhan
itu sendiri.
"Dalam agama, sunnatullah (hukum ketetapan Allah)
kalau bertentangan itu mesti dia luntur dengan sendirinya, tidak
berlaku, tidak masuk akal," jelas hakim agung Artidjo Alkostar.
Artidjo
menambahkan, segala putusan yang diambil oleh hakim di dunia, akan
dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Maka, tak boleh bermain-main
dengan nasib orang.
"Hakim seperti saya boleh jadi hakim agung,
tapi di akhirat adalah calon terdakwa. Jangan main-main dengan nasib
orang," tegas dia.
Berikut wawancara lengkap dengan hakim agung
Artidjo Alkostar di kantornya, Gedung Mahkamah Agung (MA) lantai 2,
Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2014).
Jadi menyamarkan hasil pengangkutan minyak. Sehingga kalau kita jatuhkan
kemarin jadi berapa itu, 15 tahun, benar ya. Di putusan sebelumnya ada
pertimbangan hanya sepintas begitu saja karena TPPU (Tindak Pidana
Pencucian Uang) itu dendanya berat, tujuannya anda baca sendiri.
Mengapa dendanya Aiptu Labora bisa Rp 5 miliar?
Tidak masalah, karena kan TPPU itu, jadi di bawah maksimal kalo TPPU.
Melanggar pasal apa Aiptu Labora ini?
Ya pengangkatan tanpa izin itu, Anda bisa baca di web, itu ada pasalnya. Ekstrak saja, kalo putusan belum ada (di web).
Putusan kasasi pada Aiptu Labora adalah putusan bulat dari majelis hakim?
Bulat
Bagaimana tentang kasasi Ahmad Fathanah?
Sudah. Ditolak semuanya. Sudah kemarin (diputusnya). Ditolak terdakwa dan jaksanya. Hanya perbaikan mengenai barang buktinya.
Maksudnya?
Ada yang harus disita, ya disita oleh jaksa itu. Kita kabulkan jaksanya. Tapi itu formatnya bukan kabul, tetap ditolak.
Perbaikan alat bukti yang disita.
Majelis hakim Ahmad Fathanah siapa saja?
Saya ketua majelis angotanya, Pak Lumi (MS Lumi) dan Pak Leo Luhut Hutagalung.
Alat bukti juga disita?
Banyak sekali itu. Jadi hanya beberapa saja yang dirampas untuk negara.
Karena perkara tebal sekali itu. Tingginya sampai 2 meter apa itu.
Hahaha. itu kan lebih banyak barang buktinya. Dulu yang berat juga
(Irjen) Djoko Susilo.
Kalau berkas perkara kasasi apakah memang tebal-tebal?
Itu
di situ (menunjuk) berkas banyak perkara korupsi. Tapi anu, paling ya
berapa. Tapi kalau yang barang buktinya banyak seperti Fathanah itu, LHI
(Luthfi Hasan Ishaaq) dan Labora itu. Labora ini kelas berat, banyak
sekali, kayu ini, kayu ini.
Kenapa Bapak berani memberlakukan hukuman maksimal?
Korupsi
kejahatan luar biasa yang merampas hak-hak rakyat, hak-hak untuk
mendapatkan kesejahteraan, hak mendapat ekonomi. Itu terampas
oleh
koruptor itu. Apalagi koruptornya memegang jabatan politik. Itu
mempergunakan kekuasaannya untuk melakukan transaksional, untuk
mendapatkan imbalan.
Ini
kan menjadi ironi bagi demoktasi, rakyat mempercayakan untuk memilih,
ini jadi koruptor-koruptor juga. Makanya itu tidak bisa dilanjutkan itu.
Kan ada beberapa kasus, orang yang sudah koruptor, tapi terpilih lagi,
harus dilantik. Hahaha. Kan ada itu.
Ini ironi, negara apa ini.
Jadi agar masa depan bangsa ini, generasi masa depan kita ini, apa
berhak untuk melihat masa depannya lebih baik
lagi.
Apakah hukuman maksimal itu agar berefek jera bagi yang lain?
Itu
istilah umum. Pengadilan tidak pernah menggunakan istilah efek jera,
memiskinkan, itu tidak ada dalam kita. Dalam terminologi
pengadilan
itu istilahnya hanya menjatuhkan pidana uang pengganti
sebanyak-banyaknya, yang dia peroleh, disebarkan ke istrinya, tetap
dia harus bertanggung jawab, sebanyak-banyaknya. Jadi tidak ada istilah pengadilan memiskinkan.
Kedua
tentang efek jera, itu tidak juga. Kita memakainya preferensi umum dan
preferensi khusus. Preferensi umum supaya masyarakat juga tidak
mengulangi seperti dia lagi. Preferensi khusus bagi dia sendiri supaya
tidak menulangi lagi. Itu maksudnya.
Hukuman berat terhadap koruptor perlu diterapkan di tingkat pertama?
Itu
tidak bisa dipakai termonilogi itu di pengadilan, pengadilan itu bebas.
Kemandirian itu dijaga dalam UUD 1945, dalam konvensi PBB. Kalau
pengadilan
tidak mandiri itu yang rugi rakyat. Pimpinan MA tidak memperngaruhi
pengadilan tingkat bawah, tidak boleh. Tapi dia hanya memberi sinyal,
ini lho. Berbeda dengan kejaksaan, kejaksaan ada petunjuk. Pengadilan
nggak boleh.
Jadi putusan Bapak selama ini sinyal untuk pengadilan tingkat pertama?
Itu
terserah dia. Dan masyarakat menilai, mereka kan stakeholder, mereka
pemangku kepentingan, jadi masyarakat meskipun tidak tahu hukum, tapi
dia punya akal sehat. 'Lho itu kok bebas ya', 'lho itu kok hukumannya rendah ya'.
Masyarakat
sebagai stakeholder, pemangku kepentingan adalah berhak untuk bertanya,
mengapa itu begitu. Jadi supaya negara kita ini tidak
dipredikatkan lebih rendah. Nomor 100 itu rangkingnya itu, koruptornya. Kita angkatlah martabat bangsa kita ini
Terkait pencabutan hak politik LHI, apa nanti akan diterapkan semua bagi terdakwa koruptor?
Belum
tentu. Itu kasuistis, nggak semuanya. Kalau hanya korupsi biasa, bukan
jabatan politik, nggak tepat dicabut hak politik. Tergantung
pertimbagnan hakim. Baru Djoko Susilo dan LHI.
Soal hukuman berat utk koruptor, di pengadilan bawah perlu sosok seperti Bapak sepertinya?
Nggak,
ada tiga pertimbangan hakim. Pertama fakta hukum. Kedua rule, peraturan
perundang-undangan. Ketiga yurisprudensi, kalau ini sudah
jadi yurispruden kan bisa dirujuk itu.
Jadi
tidak boleh dalam hakim itu ada indoktrinasi, itu harus dijunjung itu
mahkotanya hakim dan itu secara konstitusional begitu. Kalau dia
menyimpang tentu publik menilai. Karena putusan hakim itu perlu
dipertimbangkan. Kepada siapa dia? Kepada ilmunya. Kedua, kepada
institusinya, lembaganya. Ketiga, kepada publik, masyarakat.
Itu
namanya common sense, akal sehat. Karena masyarakat meskipun tidak tahu
hukum tapi dia tahu perasaan keadilan itu. Karena apa? Di atas hukm itu
ada hukum, apa dia? Itu adalah kepantasan.
Jadi hukum buatan
manusia tidak mungkin bertentangan dengan hukum alam. Dalam agama,
sunnatullah (hukum ketetapan Allah-red) kalau bertentangan, mesti dia
luntur dengan sendirinya, tidak berlaku, tidak masuk akal.
Selanjutnya
keempat, kepada hati nurani yang tidak bisa ditipu. Kalau dia menipu
sendiri, berarti dia membuat penyakit diri sendiri. Akan diadili dia.
Terakhir,
kepada Yang Maha Tahu di Atas. Hakim seperti saya boleh jadi hakim
agung, tapi di akhirat adalah calon terdakwa. Jangan main-main dengan
nasib orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar