VIVAnews
- Fatimah (90), yang digugat oleh anak dan menantunya sebesar Rp1
miliar di Pengadilan Negri (PN) Tangerang, menceritakan duduk persoalan
kenapa ia sampai digugat anak kandungnya sendiri. Tanah seluas 397 m2
yang disengketakan dibeli suaminya dari menantunya Nurhakim sebesar Rp10
juta.
"Waktu itu, suami saya H. Abdul Rahan almarhum menjual tanahnya untuk pergi haji kami. Uang dibagikan kepada 8 anaknya sebagai warisan dan sisanya dibelikan tanah milik Nurhakim sebesar 10 juta rupiah pada tahun 1987," kata Fatimah di kediamnya di Jalan KH. Hasyim Azhari, Kelurahan Kenanga RT 02 RW 01, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.
Fatimah menjelaskan, setelah tanah yang sudah dibangun dan ditempati oleh dirinya selam 27 tahun, tiba-tiba anak dan menantunya menggugat tanah dan melaporkan ke Polres Metro Tangerang dengan tuduhan penggelapan tanah dan pencurian sertifikat tanah.
"Dalam laporannya ke polres pada waktu itu, tidak terbukti dengan apa yang dilaporkan oleh penggugat. Namun, Nurhakim kembali melaporkan ini ke PN Tangerang dengan mengugat saya sebesar 1 miliar rupiah," ujarnya.
Menurut Fatimah, setelah suaminya meninggal dirinya tidak menyangka anak kandung dan menantunya melakukan hal ini terhadap dirinya yang sudah tua dan tidak mengerti masalah hukum.
"Saya kecewa dengan apa yang di lakukan oleh anak dan menantu saya. Mereka sungguh tidak punya hati nurani, saya tempati tanah ini karena sudah dibeli suami saya. Anak saya juga dikasih 1 juta rupiah sebagai uang warisan," katanya.
Fatimah menambahkan, dia dan anaknya sudah bermusyawarah di Kelurahan Cipondoh pada 2013 mengenai sengketa tanah itu. Terahir kali bertemu di pengadilan negeri Tangerang pada Selasa, 24 September 2014.
"Memang ketika anak saya menggugat tanah ini pada tahun 2011, dia tak pernah berkujung ke rumah atau melihat keadaan orangtuanya. Ya terakhir ketemu Selasa lalu sewaktu sidang," katanya.
Amas, anak bungsu Fatimah, ikut menambahkan mengenai proses pembelian tanah milik kakak iparnya Nurhakim oleh kedua orangtuanya.
"Waktu itu, suami saya H. Abdul Rahan almarhum menjual tanahnya untuk pergi haji kami. Uang dibagikan kepada 8 anaknya sebagai warisan dan sisanya dibelikan tanah milik Nurhakim sebesar 10 juta rupiah pada tahun 1987," kata Fatimah di kediamnya di Jalan KH. Hasyim Azhari, Kelurahan Kenanga RT 02 RW 01, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.
Fatimah menjelaskan, setelah tanah yang sudah dibangun dan ditempati oleh dirinya selam 27 tahun, tiba-tiba anak dan menantunya menggugat tanah dan melaporkan ke Polres Metro Tangerang dengan tuduhan penggelapan tanah dan pencurian sertifikat tanah.
"Dalam laporannya ke polres pada waktu itu, tidak terbukti dengan apa yang dilaporkan oleh penggugat. Namun, Nurhakim kembali melaporkan ini ke PN Tangerang dengan mengugat saya sebesar 1 miliar rupiah," ujarnya.
Menurut Fatimah, setelah suaminya meninggal dirinya tidak menyangka anak kandung dan menantunya melakukan hal ini terhadap dirinya yang sudah tua dan tidak mengerti masalah hukum.
"Saya kecewa dengan apa yang di lakukan oleh anak dan menantu saya. Mereka sungguh tidak punya hati nurani, saya tempati tanah ini karena sudah dibeli suami saya. Anak saya juga dikasih 1 juta rupiah sebagai uang warisan," katanya.
Fatimah menambahkan, dia dan anaknya sudah bermusyawarah di Kelurahan Cipondoh pada 2013 mengenai sengketa tanah itu. Terahir kali bertemu di pengadilan negeri Tangerang pada Selasa, 24 September 2014.
"Memang ketika anak saya menggugat tanah ini pada tahun 2011, dia tak pernah berkujung ke rumah atau melihat keadaan orangtuanya. Ya terakhir ketemu Selasa lalu sewaktu sidang," katanya.
Amas, anak bungsu Fatimah, ikut menambahkan mengenai proses pembelian tanah milik kakak iparnya Nurhakim oleh kedua orangtuanya.
"Pada waktu itu saya
sebagai saksi pembelian pada malam hari jam 10 malam. Saya merasa sedih
karena sudah 27 tahun tanah ini digugat oleh kakaknya sendiri sampai ke
pengadilan. Padahal Kami berusah untuk damai bersama pihak kepolsian
dengan menyiapkan uang 50 juta. Namun, pihak penggugat permintaannya
naik dari 20 juta, 50 juta, 300 juta sampai sekarang jadi 1 miliar,"
katanya.
Amas menuturkan, pembelian tanah itu memang tidak ada bukti pembelian. Pada waktu itu orangtuanya memberikan uang kepada penggugat dan penggugat memberikan serifikat tanah sebagai bukti pembeilan tanah.
"Karena jual belinya antara orang tua dan menantu jadi nggak ada bukti tulisan. Namun penggugat memberikan sertifikat tanah setelah tanah tersebut dibayar orangtuanya," ujarnya.
Sikap kakaknya, menurut Amas, sangat membuat keluarga malu karena sampai ke pengadilan padahal tanah itu sudah dibayar dan sertifikatnya asli dipegang orangtuanya.
"Saya sedih, kok tega anak menggugat orangtuanya sendiri, kaya nggak punya hati nurani. Kalau nggak ada ibu nggak mungkin dia ada. Saya percaya doa ibu didengar Allah," katanya.
Sementara Rohimah (40), anak perempuan nomor tiga Fatimah ikut menunjukkan surat kesepakatan balik nama yang ditandatangani oleh penggugat yaitu Nurhakim pada tanggal 22 November 2005.
Dalam isi surat tersebut, Nurhakim menyatakan bahwa tanah tersebut dijual ke HJ Fatimah dan menyatakan siap balik nama. Sertifikat atas nama Nurhalim Bin H Sidik.
"Itu disaksikan oleh keluarga dan suami saya almarhum dan di tadatangani oleh pengungat," kata Rohimah.
Kata Rohimah, selama Amat Muso suaminya masih hidup, tanah ini tidak pernah dipersoalkan. "Setelah suami saya meninggal, orangtua saya ingin balik nama tanah atas namanya. Tapi pihak penggugat tidak mengizinkan. Dia menggugat atas tanah yang sudah di jual itu," katanya.
Sebagai anak nomor ketiga dari delapan bersaudara, Rohima dan keluarga lainya akan mendampingi terus orangtuanya untuk memperjuangkan haknya.
"Ibu saya memang sudah tua, selama ini saya yang mengurusinya. Dengan berbekal bukti pembelian dan surat balik nama yang sudah ditandatangani dan disepakti oleh pihak penggugat, kami akan terus berjuang dan mempertahankan tanah ini karena ini tanah orangtua saya," katanya.
Amas menuturkan, pembelian tanah itu memang tidak ada bukti pembelian. Pada waktu itu orangtuanya memberikan uang kepada penggugat dan penggugat memberikan serifikat tanah sebagai bukti pembeilan tanah.
"Karena jual belinya antara orang tua dan menantu jadi nggak ada bukti tulisan. Namun penggugat memberikan sertifikat tanah setelah tanah tersebut dibayar orangtuanya," ujarnya.
Sikap kakaknya, menurut Amas, sangat membuat keluarga malu karena sampai ke pengadilan padahal tanah itu sudah dibayar dan sertifikatnya asli dipegang orangtuanya.
"Saya sedih, kok tega anak menggugat orangtuanya sendiri, kaya nggak punya hati nurani. Kalau nggak ada ibu nggak mungkin dia ada. Saya percaya doa ibu didengar Allah," katanya.
Sementara Rohimah (40), anak perempuan nomor tiga Fatimah ikut menunjukkan surat kesepakatan balik nama yang ditandatangani oleh penggugat yaitu Nurhakim pada tanggal 22 November 2005.
Dalam isi surat tersebut, Nurhakim menyatakan bahwa tanah tersebut dijual ke HJ Fatimah dan menyatakan siap balik nama. Sertifikat atas nama Nurhalim Bin H Sidik.
"Itu disaksikan oleh keluarga dan suami saya almarhum dan di tadatangani oleh pengungat," kata Rohimah.
Kata Rohimah, selama Amat Muso suaminya masih hidup, tanah ini tidak pernah dipersoalkan. "Setelah suami saya meninggal, orangtua saya ingin balik nama tanah atas namanya. Tapi pihak penggugat tidak mengizinkan. Dia menggugat atas tanah yang sudah di jual itu," katanya.
Sebagai anak nomor ketiga dari delapan bersaudara, Rohima dan keluarga lainya akan mendampingi terus orangtuanya untuk memperjuangkan haknya.
"Ibu saya memang sudah tua, selama ini saya yang mengurusinya. Dengan berbekal bukti pembelian dan surat balik nama yang sudah ditandatangani dan disepakti oleh pihak penggugat, kami akan terus berjuang dan mempertahankan tanah ini karena ini tanah orangtua saya," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar