VIVAnews - Penantian
panjang Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq,
terhadap proses hukumnya telah berakhir. Setelah pada pengadilan tingkat
pertama divonis 16 tahun penjara, Mahkamah Agung kemudian
memperberatnya menjadi 18 tahun penjara.
Putusan kasasi dijatuhkan Senin 15 September 2014. Putusan dijatuhkan Ketua majelis kasasi yang juga Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis Hakim Agung M Askin dan MS Lumme. Ketika dikonfirmasi, Artidjo membenarkan putusan itu.
"Ya, benar," katanya melalui pesan singkat, Selasa 16 September 2014.
Tak hanya memperberat hukuman, MA juga mencabut hak politik Luthfi. Akibatnya dia tak lagi memiliki hak untuk dipilih dalam jabatan publik.
Vonis MA sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibacakan di Pengadilan Tipikor. Namun, dalam vonis hakim tingkat pertama, Luthfi hanya dijatuhi hukuman 16 tahun tanpa pencabutan hak politik.
Selaku anggota DPR, Luthfi terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi. Ia juga terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp40 miliar dari PT Indoguna Utama. Sebagian di antaranya, senilai Rp1,3 miliar, telah diterima melalui Ahmad Fathanah, seorang kolega Luthfi.
Respons KPK
Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Busyro Muqqodas mengisyaratkan akan tetap menuntut pencabutan hak politik pada para terdakwa kasus korupsi lainnya.
"KPK akan berlakukan tuntutan standar ini," katanya melalui pesan singkat, Selasa 16 September 2014.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bambang Widjojanto mengatakan putusan MA harus menjadi rujukan putusan pengadilan di bawahnya.
"Putusan MA soal hukuman tambahan yang mencabut hak politik seseorang karena terbukti melakukan kejahatan korupsi bisa menjadi benchmark dan rujukan bagi pengadilan," katanya melalui pesan singkat kepada wartawan, Selasa 16 September 2014.
Dia mengungkapkan, putusan pencabutan hak politik itu telah mengakomodasi fakta atas terjadinya perilaku privatisasi dan personalisasi kekuasaan oleh pejabat publik yang dilakukan secara melawan hukum dan transaksional.
Menurut Bambang, KPK akan tetap menuntut pencabutan hak politik bagi terdakwa perkara dugaan korupsi. Salah satunya adalah tuntutan kepada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
"Dalam tuntutan atas Anas, KPK juga mengajukan pencabutan hak politik," ujarnya.
Tanggapan Pengacara
Tim kuasa hukum Luthfi merasa hukuman yang dijatuhkan majelis hakim Mahkamah Agung sangat tidak adil. Ketika dikonfirmasi VIVAnews, Sugiharto, pengacara Luthfi, mengatakan penambahan hukuman dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara sangat tidak pantas.
"Hukuman kepada Ustaz (Luthfi) sangat tidak adil, karena mereka yang didakwa memberi hanya diputus 2 tahun 6 bulan. Sedangkan ustaz didakwa menerima dihukum 10 tahun ditambah 8 tahun untuk TPPU, ditambah denda Rp1 miliar subsidair 6 bulan, serta perampasan barang-barang dalam TPPU. Padahal tidak dibuktikan dari korupsi apa," ujar Sugiharto, Selasa 16 September 2014.
Sugiharto juga kecewa terhadap MA yang juga menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak politik. "Itu seluruhnya hukuman yang tidak proporsional dan melebihi dari maksud dan tujuan pemidanaan," katanya.
Terkait penambahan hukuman, Sugiharto mengatakan Luthfi akan bertemu dengan tim pengacara, Rabu 17 September 2014. Mereka akan membahas langkah hukum selanjutnya, termasuk upaya pengajuan Peninjauan Kembali.
"Insya Allah, kami akan bertemu ustaz," ujar Sugiharto.
Tuntutan Pencabutan Hak Politik
Selain Luthfi, JPU KPK juga telah menuntut pencabutan hak politik atas sejumlah terdakwa korupsi lainnya. Termasuk Anas. Berikut daftarnya:
Anas Urbaningrum
Sebelumnya Anas dituntut pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp500 juta subsidair lima bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pembacaan tuntutan, Kamis 11 September 2014.
Jaksa juga meminta Majelis Hakim untuk hukuman tambahan berupa pencabutan hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik. Serta menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan izin usaha pertambangan atas nama Arina Kotajaya seluas kurang 5 ribu sampai dengan 10 ribu hektare, yang berada di dua kecamatan, Bengalon dan Kongbeng, Kutai Timur.
Ratu Atut Chosiyah
Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman pidana tambahan terhadap Gubernur Banten non-aktif, Ratu Atut Chosiyah. Hukuman pidana tambahan itu berupa pencabutan hak politik.
"Tuntutan pidana tambahan tidak disepakati majelis hakim," kata Hakim Anggota, Ugo ketika membacakan putusan kepada Atut, di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Senin, 1 September 2014.
Selain itu, Hakim mengatakan bahwa saat ini Atut juga merupakan tersangka kasus lain selain perkara yang telah disidangkan. Hal tersebut menurut hakim akan membuat Atut terseleksi secara alamiah terkait hak-hak politiknya karena masyarakat dianggap sudah mampu menilai.
"Sehingga majelis berpendapat untuk pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik tidak dapat dipenuhi," kata Hakim Ugo.
Diketahui Ratu Atut Chosiyah dijatuhi hukuman pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp200 juta subsidair lima bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.
Ratu Atut dinilai terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait kasus suap penanganan sengketa pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi
Akil Mochtar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dituntut hukuman penjara seumur hidup oleh JPU KPK, Jakarta, Senin 16 Juni 2014. Selain itu, Akil juga diminta membayar denda Rp10 miliar.
"Menutut, supaya majelis hakim yang mengadili dan memutuskan perkara ini untuk menyatakan terdakwa M Akil Mochtar secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Jaksa Pulung saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Jaksa KPK juga menuntut hukuman tambahan bagi mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu dengan pencabutan hak politiknya dalam jabatan publik. "Meminta kepada majelis hakim agar mencabut hak terdakwa untuk dipilih dan memilih pada pemilihan umum," ujar jaksa.
Namun, majelis hakim tipikor hanya mengabulkan pidana penjara seumur hidup.
Djoko Susilo
Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo adalah terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi adalah yang pertama kali dituntut agar hak politiknya dicabut.
Setelah divonis dan mengajukan banding, Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tak hanya menjatuhkan hukuman pidana penjara 18 tahun, denda Rp 1 miliar, dan pembayaran uang pengganti Rp 32 miliar. Hakim juga mengabulkan permohonan pencabutan hak politik.
Hak Djoko untuk dipilih dalam jabatan publik dihapuskan oleh putusan PT DKI.
Peringatan Bagi Politisi
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan selama ini publik memang mengharapkan pencabutan hak politik terhadap para koruptor. Terutama terhadap para politisi yang menyalahgunakan posisi dan jabatan publiknya.
"Saya kira itu putusan yang tepat," katanya ketika dihubungi VIVAnews, Selasa 16 September 2014.
Pohan juga menekankan vonis MA sekaligus menjadi peringatan bagi para politisi agar lebih berhati-hati dalam menggunakan jabatan dan posisinya. Pohan mengingatkan Luthfi adalah politisi yang pertama kali dicabut hak politiknya.
Ketika ditanya mengenai efek jera yang ditimbulkan, Pohan tidak melihat adanya penjeraan akibat pencabutan hak politik. Menurutnya penjeraan masih ditimbulkan akibat bertambahnya masa hukuman di dalam penjara.
Namun Pohan mengingatkan kasus yang menjerat mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Pohan mengatakan Susno yang pernah terjerat kasus hukum kemudian mencalonkan diri sebagai salah satu calon anggota legislatif dari Partai Bulan Bintang pada pemilu 2014.
"Jangan sampai itu terulang," ujarnya.
Pohan mengemukakan kasus Susno itulah yang mendorong KPK untuk mengajukan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik yang pertama kali dicantumkan dalam tuntutan Djoko Susilo. KPK menurutnya berpikir jauh ke depan sebelum mengajukan pencabutan hak politik di dalam tuntutan.
Pemberantasan korupsi di tanah air menurut Pohan masih membutuhkan waktu yang lama. Jika para terpidana koruptor usai menjalani masa hukuman di dalam penjara, kemudian kembali mencalonkan diri menjadi pejabat publik, tentu akan kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi.
"Bukan tidak mungkin, mereka akan kembali mencalonkan diri. Yang lebih menjadi masalah masyarakat sudah lupa jika calonnya pernah dipidana dalam kasus korupsi," kata dia. (ren)
Putusan kasasi dijatuhkan Senin 15 September 2014. Putusan dijatuhkan Ketua majelis kasasi yang juga Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis Hakim Agung M Askin dan MS Lumme. Ketika dikonfirmasi, Artidjo membenarkan putusan itu.
"Ya, benar," katanya melalui pesan singkat, Selasa 16 September 2014.
Tak hanya memperberat hukuman, MA juga mencabut hak politik Luthfi. Akibatnya dia tak lagi memiliki hak untuk dipilih dalam jabatan publik.
Vonis MA sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibacakan di Pengadilan Tipikor. Namun, dalam vonis hakim tingkat pertama, Luthfi hanya dijatuhi hukuman 16 tahun tanpa pencabutan hak politik.
Selaku anggota DPR, Luthfi terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi. Ia juga terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp40 miliar dari PT Indoguna Utama. Sebagian di antaranya, senilai Rp1,3 miliar, telah diterima melalui Ahmad Fathanah, seorang kolega Luthfi.
Respons KPK
Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Busyro Muqqodas mengisyaratkan akan tetap menuntut pencabutan hak politik pada para terdakwa kasus korupsi lainnya.
"KPK akan berlakukan tuntutan standar ini," katanya melalui pesan singkat, Selasa 16 September 2014.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bambang Widjojanto mengatakan putusan MA harus menjadi rujukan putusan pengadilan di bawahnya.
"Putusan MA soal hukuman tambahan yang mencabut hak politik seseorang karena terbukti melakukan kejahatan korupsi bisa menjadi benchmark dan rujukan bagi pengadilan," katanya melalui pesan singkat kepada wartawan, Selasa 16 September 2014.
Dia mengungkapkan, putusan pencabutan hak politik itu telah mengakomodasi fakta atas terjadinya perilaku privatisasi dan personalisasi kekuasaan oleh pejabat publik yang dilakukan secara melawan hukum dan transaksional.
Menurut Bambang, KPK akan tetap menuntut pencabutan hak politik bagi terdakwa perkara dugaan korupsi. Salah satunya adalah tuntutan kepada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
"Dalam tuntutan atas Anas, KPK juga mengajukan pencabutan hak politik," ujarnya.
Tanggapan Pengacara
Tim kuasa hukum Luthfi merasa hukuman yang dijatuhkan majelis hakim Mahkamah Agung sangat tidak adil. Ketika dikonfirmasi VIVAnews, Sugiharto, pengacara Luthfi, mengatakan penambahan hukuman dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara sangat tidak pantas.
"Hukuman kepada Ustaz (Luthfi) sangat tidak adil, karena mereka yang didakwa memberi hanya diputus 2 tahun 6 bulan. Sedangkan ustaz didakwa menerima dihukum 10 tahun ditambah 8 tahun untuk TPPU, ditambah denda Rp1 miliar subsidair 6 bulan, serta perampasan barang-barang dalam TPPU. Padahal tidak dibuktikan dari korupsi apa," ujar Sugiharto, Selasa 16 September 2014.
Sugiharto juga kecewa terhadap MA yang juga menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak politik. "Itu seluruhnya hukuman yang tidak proporsional dan melebihi dari maksud dan tujuan pemidanaan," katanya.
Terkait penambahan hukuman, Sugiharto mengatakan Luthfi akan bertemu dengan tim pengacara, Rabu 17 September 2014. Mereka akan membahas langkah hukum selanjutnya, termasuk upaya pengajuan Peninjauan Kembali.
"Insya Allah, kami akan bertemu ustaz," ujar Sugiharto.
Tuntutan Pencabutan Hak Politik
Selain Luthfi, JPU KPK juga telah menuntut pencabutan hak politik atas sejumlah terdakwa korupsi lainnya. Termasuk Anas. Berikut daftarnya:
Anas Urbaningrum
Sebelumnya Anas dituntut pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp500 juta subsidair lima bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pembacaan tuntutan, Kamis 11 September 2014.
Jaksa juga meminta Majelis Hakim untuk hukuman tambahan berupa pencabutan hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik. Serta menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan izin usaha pertambangan atas nama Arina Kotajaya seluas kurang 5 ribu sampai dengan 10 ribu hektare, yang berada di dua kecamatan, Bengalon dan Kongbeng, Kutai Timur.
Ratu Atut Chosiyah
Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman pidana tambahan terhadap Gubernur Banten non-aktif, Ratu Atut Chosiyah. Hukuman pidana tambahan itu berupa pencabutan hak politik.
"Tuntutan pidana tambahan tidak disepakati majelis hakim," kata Hakim Anggota, Ugo ketika membacakan putusan kepada Atut, di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Senin, 1 September 2014.
Selain itu, Hakim mengatakan bahwa saat ini Atut juga merupakan tersangka kasus lain selain perkara yang telah disidangkan. Hal tersebut menurut hakim akan membuat Atut terseleksi secara alamiah terkait hak-hak politiknya karena masyarakat dianggap sudah mampu menilai.
"Sehingga majelis berpendapat untuk pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik tidak dapat dipenuhi," kata Hakim Ugo.
Diketahui Ratu Atut Chosiyah dijatuhi hukuman pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp200 juta subsidair lima bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.
Ratu Atut dinilai terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait kasus suap penanganan sengketa pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi
Akil Mochtar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dituntut hukuman penjara seumur hidup oleh JPU KPK, Jakarta, Senin 16 Juni 2014. Selain itu, Akil juga diminta membayar denda Rp10 miliar.
"Menutut, supaya majelis hakim yang mengadili dan memutuskan perkara ini untuk menyatakan terdakwa M Akil Mochtar secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Jaksa Pulung saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Jaksa KPK juga menuntut hukuman tambahan bagi mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu dengan pencabutan hak politiknya dalam jabatan publik. "Meminta kepada majelis hakim agar mencabut hak terdakwa untuk dipilih dan memilih pada pemilihan umum," ujar jaksa.
Namun, majelis hakim tipikor hanya mengabulkan pidana penjara seumur hidup.
Djoko Susilo
Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo adalah terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi adalah yang pertama kali dituntut agar hak politiknya dicabut.
Setelah divonis dan mengajukan banding, Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tak hanya menjatuhkan hukuman pidana penjara 18 tahun, denda Rp 1 miliar, dan pembayaran uang pengganti Rp 32 miliar. Hakim juga mengabulkan permohonan pencabutan hak politik.
Hak Djoko untuk dipilih dalam jabatan publik dihapuskan oleh putusan PT DKI.
Peringatan Bagi Politisi
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan selama ini publik memang mengharapkan pencabutan hak politik terhadap para koruptor. Terutama terhadap para politisi yang menyalahgunakan posisi dan jabatan publiknya.
"Saya kira itu putusan yang tepat," katanya ketika dihubungi VIVAnews, Selasa 16 September 2014.
Pohan juga menekankan vonis MA sekaligus menjadi peringatan bagi para politisi agar lebih berhati-hati dalam menggunakan jabatan dan posisinya. Pohan mengingatkan Luthfi adalah politisi yang pertama kali dicabut hak politiknya.
Ketika ditanya mengenai efek jera yang ditimbulkan, Pohan tidak melihat adanya penjeraan akibat pencabutan hak politik. Menurutnya penjeraan masih ditimbulkan akibat bertambahnya masa hukuman di dalam penjara.
Namun Pohan mengingatkan kasus yang menjerat mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Pohan mengatakan Susno yang pernah terjerat kasus hukum kemudian mencalonkan diri sebagai salah satu calon anggota legislatif dari Partai Bulan Bintang pada pemilu 2014.
"Jangan sampai itu terulang," ujarnya.
Pohan mengemukakan kasus Susno itulah yang mendorong KPK untuk mengajukan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik yang pertama kali dicantumkan dalam tuntutan Djoko Susilo. KPK menurutnya berpikir jauh ke depan sebelum mengajukan pencabutan hak politik di dalam tuntutan.
Pemberantasan korupsi di tanah air menurut Pohan masih membutuhkan waktu yang lama. Jika para terpidana koruptor usai menjalani masa hukuman di dalam penjara, kemudian kembali mencalonkan diri menjadi pejabat publik, tentu akan kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi.
"Bukan tidak mungkin, mereka akan kembali mencalonkan diri. Yang lebih menjadi masalah masyarakat sudah lupa jika calonnya pernah dipidana dalam kasus korupsi," kata dia. (ren)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar