VIVAnews
- Fatimah tak habis pikir, mengapa anak kandung dan menantunya
menggugat dia sampai Rp1 miliar. Meski begitu, nenek berusia 90 tahun
itu mengaku tak gentar.
Mengenakan baju serba putih, nenek Fatimah menjelaskan kasus yang melilitnya. Dia digugat menantu dan anak kandungnya sendiri, Nurhana, dalam kasus sengketa tanah seluas 387 meter persegi hingga ke Pengadilan Negeri (PN) Tangerang.
"Masya Allah, tega bener itu anak. Orangtua digugat mulu, dari polisi sampai pengadilan," kata Fatimah saat ditemui VIVAnews di kediamannya di Jalan KH. Hasyim Azhari kelurahan kenanga, RT 02 RW 01, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.
Dia mengaku tak rela jika
tanah yang jadi tempat bernaungnya selama ini, diambil sang Anak.
Karena, Fatimah mengaku sudah membeli tanah itu dari menantunya dengan
harga Rp10 juta.
"Saya beli sewaktu suami
saya masih ada," kata dia sambil membuka-buka sertifikat tanah yang ia
beli dari Nurhalim bin Sidik--yang tak lain adalah menantunya-- tahun
1987.
Meski begitu, nenek
Fatimah mengaku tak takut dan siap meladeni gugatan anak dan menantunya
itu. Sebab, kata dia, tanah itu adalah haknya. "Saya juga enggak ridho kalau ini di ambil begitu saja," ujar Fatimah.
Kronologi pembelian tanah
Amas, anak bungsu Fatimah, lantas menjelaskan proses pembelian tanah milik kakak iparnya Nurhakim sebesar Rp10 juta itu.
Di sebuah malam pada 1987, Amas mengaku menjadi saksi jual-beli tanah itu antara orangtua dan kakaknya. "Saya sedih karena sudah 27 tahun tanah ini digugat oleh kakak saya sendiri sampai ke pengadilan," kata dia.
Kronologi pembelian tanah
Amas, anak bungsu Fatimah, lantas menjelaskan proses pembelian tanah milik kakak iparnya Nurhakim sebesar Rp10 juta itu.
Di sebuah malam pada 1987, Amas mengaku menjadi saksi jual-beli tanah itu antara orangtua dan kakaknya. "Saya sedih karena sudah 27 tahun tanah ini digugat oleh kakak saya sendiri sampai ke pengadilan," kata dia.
Padahal, keluarga sudah mengupayakan jalur damai yang difasilitasi polisi. Fatimah juga sudah menyiapkan uang Rp50 juta.
"Tapi, penggugat mintanya naik terus. Dari Rp20 juta, menjadi Rp50 juta, Rp300 juta, sampai sekarang menjadi Rp1 miliar," kata dia.
Amas menuturkan, pembelian tanah itu memang tidak memakai tanda bukti pembelian. Pada waktu itu, orangtuanya memberikan uang kepada Nurhalim. Kemudian, Nurhalim memberikan sertifikat tanahnya sebagai bukti jual-beli tanah.
"Karena jual belinya antara orangtua dan menantu, jadi enggak ada bukti tulisan. Namun penggugat memberikan sertifikat tanah setelah tanah tersebut dibayar oleh orangtua saya," ungkapnya.
Amas menyesalkan langkah hukum kakak dan kakak iparnya itu. "Kok tega anak menggugat orangtuanya sendiri. Kayak enggak punya hati nurani. Kalau enggak ada ibu, enggak mungkin dia ada. Saya percaya doa ibu di dengar Allah," kata dia. (ita)
"Tapi, penggugat mintanya naik terus. Dari Rp20 juta, menjadi Rp50 juta, Rp300 juta, sampai sekarang menjadi Rp1 miliar," kata dia.
Amas menuturkan, pembelian tanah itu memang tidak memakai tanda bukti pembelian. Pada waktu itu, orangtuanya memberikan uang kepada Nurhalim. Kemudian, Nurhalim memberikan sertifikat tanahnya sebagai bukti jual-beli tanah.
"Karena jual belinya antara orangtua dan menantu, jadi enggak ada bukti tulisan. Namun penggugat memberikan sertifikat tanah setelah tanah tersebut dibayar oleh orangtua saya," ungkapnya.
Amas menyesalkan langkah hukum kakak dan kakak iparnya itu. "Kok tega anak menggugat orangtuanya sendiri. Kayak enggak punya hati nurani. Kalau enggak ada ibu, enggak mungkin dia ada. Saya percaya doa ibu di dengar Allah," kata dia. (ita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar