Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Pemantau Peradilan meminta Komisi III DPR RI segera menyeleksi calon hakim agung tanpa harus menunggu tambahan calon hakim dari Komisi Yudisial.

"Kewenangan DPR untuk menetapkan calon hakim agung terpilih itu hanya 30 hari semenjak diterimanya nama calon hakim agung dari KY pada 14 Mei 2012, berarti DPR hanya memiliki sisa waktu sampai dengan 12 Juni 2012," kata anggota KPP dari Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz melalui siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa.

KPP juga mengingatkan jika sampai jangka waktu yang telah ditentukan belum ada seleksi hakim agung, Pesiden memiliki kewenangan untuk menetapkan hakim agung yang direkomendasikan oleh KY.

Pihaknya mensinyalir Komisi III berniat menunda proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap 12 calon hakim agung yang diajukan oleh KY.

Alasan dari komisi tersebut, kata dia, KY tidak memenuhi permintaan Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan lima orang hakim agung.

Jika mengikuti permintaan dari MA itu berarti KY harus mengajukan 15 calon hakim agung ke DPR atau setara tiga kali dari jumlah lowongan, katanya.

"DPR bersikap hanya akan melakukan seleksi semua calon hakim agung secara bersamaan, setelah KY memberikan tiga orang tambahan calon hakim agung yang bisa diambil dari calon-calon yang tidak lolos namun memiliki integritas," katanya.

Padahal, kata dia, KY menanggapi permintaan DPR untuk melengkapi kekurangan kuota calon hakim agung tersebut dengan cara menggelar kembali seleksi untuk menutup kekurangan tiga calon hakim agung pada seleksi periode sebelumnya, sekaligus mencari pengganti empat hakim agung yang akan pensiun pada semester kedua 2012.

"Bukannya menambah jumlah calon hakim agung yang telah dieleminasi KY pada proses seleksi sebelumnya seperti permintaan DPR," katanya.

Penundaan proses uji kelayakan dan kepatutan ini terkesan hanya didasari pada argumentasi yang dibuat-buat. Padahal pada 2011, kondisi serupa pernah pula dilakukan oleh KY yang pada saat itu hanya mengirimkan 18 dari yang seharusnya 30 calon hakim agung ke DPR.

"Namun mengapa pada saat itu DPR tidak mempersoalkannya? Mengapa DPR pada saat itu lebih memilih kemanfaatan ketimbang mempermasalahkan soal kuota? Dan yang lebih menggelikan, kenapa DPR ngotot meminta KY untuk mencukupi jumlah kuota dengan mengambil calon hakim yang tidak lulus seleksi.

"Patut diduga, sikap menunda proses uji kelayakan dan kepatutan ini bisa saja dilakukan karena ada `calon DPR` yang mungkin tidak diloloskan oleh KY," katanya.