BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 26 April 2013

KontraS Kecam Vonis Mati Oknum TNI Pembunuh Shinta dan Ibunya

Andri Haryanto - detikNews

Jakarta - Koordinator untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam vonis mati yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Militer II-09 Bandung, terhadap personel Yonif 303/13/1 Kostrad, Prada Mart Azzanul Ikhwan (23). Vonis mati dinilai tidak bisa menjadi acuan efek jera bagi pelaku lainnya.

"Perbuatan yang dilakukan Prada Mart AzzanuL Ihkwan tersebut memang selayaknya mendapatkan hukuman berat, namun vonis hukuman mati tidak dapat dijadikan tolak ukur beratnya hukuman sebagai pemberi efek jera bagi calon pelaku lainnya," terang Koordinator KontraS, Haris Azhar, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/4/2013).

Putusan mati tersebut, jelas Haris, justru menandakan nihilnya pemahaman majelis hakim peradilan militer atas perlindungan hak asasi manusia. Dalam UUD 1945 pasal 28A jo 28I dan berbagai instrumen HAM di Indonesia, dikenal adanya beberapa hak yang digolongkan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).

Dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana sudah dijadikan hukum nasional lewat (Undang-Undang nomor 12 tahun 2005) hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, diantaranya, adalah hak untuk hidup (pasal 6), hak untuk tidak disiksa (pasal 7), hak diakui sebagai pribadi di muka hukum (pasal 16) serta hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (pasal 18).

"Kami meyakini bahwa putusan ini untuk menunjukan ketegasan belaka. Namun sayang ketegasan semacam ini jelas merupakan ketegasan yang mengkhianati UUD 1945 yang menjamin hak untuk hidup," ujar Haris.

Haris berpendapat, terdapat kekeliruan penerapan dalam upaya penegakan hukum yang menimpa Prada Mart. Kekeliruan yng dimaksud kejahatan yang dilakukan Prada Mart merupakan delik pidana umum, bukan kejahatan militer.

"Penghukuman dengan menggunakan peradilan militer adalah sebuah kesalahan jurisdiksi hukum," kata Haris.

Haris mendesak Oditur untuk menyatakan banding terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Militer II-09 Bandung, dan tetap pada tuntutannya untuk menghukum Prada Mart dengan pidana penjara 20 tahun.

Prada Mart tega membunuh Shinta dan ibunya karena dituntut bertanggungjawab atas kehamilan Shinta. Terdakwa membantah bahwa janin yang dikandung Shinta anaknya. Namun berdasarkan hasil test DNA terhadap janin tersebut, terungkap jika memang benar Prada Mart adalah ayah dari janin berjernis kelamin laki-laki itu.

Majelis Hakim yang diketuai Letkol (Chk) Sugeng Sutrisno dalam putusannya menyebut bila majelis tidak menemukan hal yang meringanka. Sementara untuk hal yang memberatkan, adalah karena terdakwa anggota TNI, dimana telah dilatih dan dididik untuk berperang dan seharusnya melindungi rakyat, bukan untuk membunuh rakyat. Perbuatan terdakwa merusak kepentingan militer dalam soliditas dengan rakyat, mencederai rasa keadilan masyarakat, nilai kearifan lokal, norma adat dan agama.

"Perbuatan terdakwa tidak mencerminkan sifat-sifat seorang prajurit kesatria," tutur Sugeng.

Tidak ada komentar: