Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Jakarta - Pendidikan merupakan hal mendasar yang menjadi hak setiap orang di mana pun dan kapan pun. Setidaknya bagi Tante Beiby Sumanty (54) hal itu dia wujudkan dengan memberikan sarana rumah singgah dengan fasilitas pendidikan lengkap bernama ‘Sanggar Kolintang Bapontar’ di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Di sela padat dan sesaknya bangunan kota Jakarta, terselip lahan seluas 5.000 meter persegi yang dimanfaatkan untuk menampung puluhan kaum miskin dan orang-orang tunawisma. Berawal dari rasa iba sejak 30 tahun silam, Tante Beiby menampung para tunawisma untuk diberikan bekal hidup bermasyarakat.
“Jadi awalnya setelah saya sekolah di Bandung, saya pindah ke Jakarta tahun 1984. Di sini saya memanfaatkan rumah untuk menampung anak-anak jalanan. Awalnya sih hanya satu atau dua, tapi lama-lama mereka datang dan pergi jadi semakin banyak,” ujar Tante Beiby di Sanggar Kolintang Bapontar, Jl Karet Sawah 212, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (30/4/2014).
Selain tempat tinggal gratis, sosok yang mendedikasikan hari-harinya untuk sanggar ini juga menyediakan makanan bagi anak-anak jalanan secara gratis. Tak berhenti di situ saja, dana untuk pendidikan pun dia berikan untuk mereka yang menumpang tinggal.
“Karena kalau hanya menampung saja kan namanya tidak mendidik, mereka merasa disuapi saja. Saya inginnya memberi pendidikan budi pekerti sehingga mereka ini punya sangu (bekal) untuk hidup bermasyarakat,” tutur Tante Beiby.
Hari berganti, bukan hanya anak jalanan saja yang ditampung Tante Beiby, bahkan residivis kelas kakap pun ditampungnya. Sebagai pendidik yang tak menyandang predikat ‘tenaga pengajar’, Tante Beiby tak memilih-milih siapa muridnya.
“Seperti misalnya saya punya anak didik bernama Ronny, walaupun usianya jauh lebih tua daripada saya tapi saya selalu mengajarkan hal-hal yang kecil. Misalnya saja untuk tidak merokok di sembarang tempat umum, tidak meludah sembarangan, sampai mengajarkan untuk mencuci piring setelah makan. Padahal Ronny ini sudah keluar masuk penjara berkali-kali atas kasus pembunuhan,” kata Tante Beiby
Tante Beiby bersyukur bahwa sang suami yang bekerja sebagai karyawan swasta itu memberikan dukungan besar atas niat baik dirinya menampung orang-orang yang nyaris tak dipandang oleh kebanyakan masyarakat. Tanpa dukungan suami dan donatur, Tante Beiby mengaku tak akan langgeng dalam memberantas kebodohan dan memerangi kemiskinan seperti ini.
Pada akhir tahun ‘90-an rumah singgah itu pun dikembangkan menjadi lebih besar sehingga ada sejumlah gubug tinggal, ada ruangan kerja konveksi, sanggar alat musik Kolintang, hingga studio untuk mengedit film dan rekaman musik. Semua itu didedikasikan oleh Tante Beiby dan keluarga demi terwujudnya masyarakat yang lebih baik.
“Saya dan keluarga di sini juga makan makanan yang sama dengan mereka yang dimasak di dapur umum. Tidak istilah kalau kami lebih spesial dari mereka. Pokoknya kami mengajarkan untuk sama rasa, sama rata. Kami mengajarkan untuk saling berbagi dan tolong menolong,” ujar ibu satu anak ini.
Materi pendidikan yang diberikan berdasarkan pada kehidupan sehari-hari dirinya. Tapi Tante Beiby tak menutup kesempatan bagi ada sukarelawan yang bersedia memberikan materi apa pun yang berguna bagi warga sanggar tersebut.
Bicara soal ‘alumnus’, sanggar yang dikelola Tante Beiby telah meluluskan seorang mantan pengedar narkoba sekaligus germo menjadi pemilik salah satu warung makanan khas nusantara bernama ‘Dapur Kreatif’ di Plaza Semanggi. Para karyawan di warung itu pun mantan anak jalanan, sehingga bila dagangan tidak habis akan dibagi-bagikan ke para tunawisma di kolong-kolong jembatan.
“Sekarang ini juga saya lagi mengurus izin untuk membuat yayasan. Nantinya sanggar ini akan diformalkan menjadi yayasan dan akan menjadi sekolah musik. Tentunya buat anak jalanan yang ingin belajar ya akan digratiskan. Kalau untuk umum akan ada biaya, tapi dengan harga murah. Meskipun harganya murah tetapi kami berusaha mencari tenaga pengajar yang profesional. Misi saya adalah bagaimana melestarikan seni dan budaya Indonesia melalui seni musik Kolintang asal Minahasa,” kata perempuan asal Sulawesi Utara tersebut.
Seni budaya dan budi pekerti bagi Tante Beiby adalah pendidikan mendasar yang harus dienyam oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Sedikit mengelus dada, Tante Beiby menengok pada kurikulum pendidikan formal yang menurut dia sedikit mengesampingkan dua materi pokok tersebut.
“Pesan saya di hari pendidikan nasional tahun ini adalah supaya pendidikan budi pekerti dan seni budaya semakin digiatkan. Kita tahu sendiri orang tua zaman sekarang ini sibuk-sibuk semua. Ayahnya ke mana, ibunya ke mana. Sedangkan di sekolah tidak terlalu dipentingkan soal budi pekerti karena mungkin tidak ada di ujian nasional. Maka itu tempat pendidikan informal seperti sanggar ini harus banyak berdiri untuk mengajarkan budi pekerti secara suka rela bagi semua orang tak memandang siapa dia, berapa usia dia, dan bagaimana pun dia,” tutup Tante Beiby.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar