Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Pembatalan vonis mati pemilik pabrik ekstasi
Hengky Gunawan terus menuai kontroversi. Ada sejumlah kejanggalan di
balik pembatalan hukum tersebut.
Berikut berbagai kejanggalan di
balik vonis yang diketok oleh hakim agung Imron Anwari, Hakim Nyak Pha
dan Ahmad Yamani dalam catatan detikcom, Rabu (21/11/2012):
1. Pertimbangan Hukum
Majelis
hakim menganulir vonis hukuman mati karena alasan hukuman mati
melanggar konstitusi. Hal ini ditentang keras oleh seluruh elemen
masyarakat.
"Bahkan hakim menilai bahwa suatu kasus cukup
diganjar dengan pidana penjara, bukan pidana materi itu boleh saja. Tapi
dia tidak boleh menilai bahwa pidana mati itu bertentangan dengan HAM
atau dengan konstitusi yang merupakan ranah kompetensi hakim MK," kata
mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie.
Atas berbagai kritikan ini, Djoko Sarwoko membela majelis PK.
"Terkait
dengan pidana mati yang dianggap bertentangan dengan HAM itu ada
dukungan dari Asian Right Commission yang berada di Hong Kong. Intinya
dia (Asian Right Commission) mendukung putusan ini. Saya cuma
menyampaikan kepada wartawan apakah setuju atau tidak setuju, itu soal
lain," kata Djoko.
2. Putusan PK Hengky Gunawan Melanggar Perintah Ketua MA
MA
memerintahkan para hakim di seluruh Indonesia untuk memberikan hukuman
yang setimpal seperti kejahatan ekonomi, korupsi, narkoba, perkosaan,
pelanggaran HAM berat dan lingkungan hidup. Hal ini tertuang dalam Surat
Edaran MA (SEMA) No 1/2000 tentang 'Pemidanaan agar Setimpal dengan
Berat dan Sifat Kejahatannya' tertanggal 30 Juni 2000.
"Oleh
karena itu terhadap tindak Pidana antara lain Ekonomi, Korupsi, Narkoba,
Perkosaan, Pelanggaran HAM berat, lingkungan hidup, MA mengharapkan
supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh-sungguh setimpal
dengan beratnya dan sifatnya tindak pidana tersebut dan jangan sampai
menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat,"
perintah MA yang ditandatangani oleh Ketua MA saat itu, Sarwata.
3. Vonis Mati di Mata Imron Anwari Tidak Konsisten
Dalam
perkara yang diputus pada 2007 lalu, Kolonel M Irfan Djumroni divonis
mati oleh Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya di tingkat pertama.
Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh Pengadilan Militer Utama.
Di
tingkat kasasi MA membatalkan vonis mati tersebut dan mengubahnya
menjadi penjara seumur hidup. Tapi Imron Anwari berbeda pendapat, Imron
setuju hukuman mati karena pidana mati yang dijatuhkan judex facti telah
tepat.
4. Pernyataan Plintat-plintut Jubir MA Djoko Sarwoko
Awalnya, juru bicara MA Djoko Sarwoko menyatakan putusan tersebut adalah pendapat pribadi Imron Anwari.
"Itu
yang tidak bisa saya jawab. Kok bisa gembong narkoba pidana mati
kemudian diturunkan menjadi 12 tahun. Itu yang bisa jawab Pak Imron,
bukan saya," kata Djoko Sarwoko.
Belakangan hal tersebut diluruskan, yaitu putusan tersebut telah adil.
"Sangat
tepat, wajar, dan beralasan hukum apabila putusan kasasi yang
dimohonkan PK dibatalkan dengan mengubah hukuman mati menjadi 15 tahun,"
tegas Djoko.
5. Pertimbangan PK Halaman 54
Dalam pertimbangan di halaman 54 putusan bernomor 39 PK/Pid.Sus/2011:
"Menimbang
bahwa oleh karena pertimbangan Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah
tepat dan benar maka Mahkamah Agung mengambil alih putusan pertimbangan
hukum Pengadilan Negeri tersebut sebagai pertimbangan Mahkamah Agung
sendiri kecuali sekedar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan perlu
diperbaiki sehingga amarnya berbunyi sebagaimana tersebut di bawah ini,"
Meski
dalam pertimbangannya MA berkehendak memperbaiki lamanya masa pidana
pemilik pabrik ekstasi ini, ternyata dalam halaman 56 tertulis majelis
hakim tetap menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara bagi Hengky. Amar
putusan ini sama seperti amar putusan di PN Surabaya.
"Menghukum
Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas)
tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsudaur selama 4 bulan kurungan,"
demikian bunyi putusan dalam halaman 56.
6. Alasan Pengunduran Diri Ahmad Yamani Berubah-ubah
Awalnya Ahmad Yamani mengaku mengundurkan diri karena sakit.
"Hakim
agung Ahmad Yamani mengajukan permohonan pengunduran diri dengan alasan
sakit. Surat permohonan telah diterima Ketua MA selanjutnya akan
dirapatkan di rapat pimpinan untuk diteruskan kepada Presiden Republik
Indonesia," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur pada 15
November 2012.
Belakangan setelah didesak publik, MA membeberkan alasan pengunduran diri Ahmad Yamani:
"Tim
pemeriksa MA telah melakukan pemeriksaan terhadap majelis atas nama
Hengki Gunawan. Di temukan adanya tulisan tangan dari Hakim Agung Ahmad
Yamani yang menuliskan hukuman pidana penjara 12 tahun. Dan kedua hakim
lainnya tidak setuju pidana 12 tahun melainkan 15 tahun," ujar Ridwan
Mansyur dua hari setelah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar