INILAH.COM, Jakarta - Pengamat energi dari ReforMiner
Institute, Pri Agung Rakhmanto meminta, pengalihan kewenangan Badan
Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi ke Kementerian ESDM hanya bersifat
sementara.
"Kalau permanen, sama saja dengan sistem BP Migas sekarang ini yang berpola 'government to business' (G to B) yang rawan dari sudut pandang konstitusi," katanya di Jakarta, Rabu (14/11/2012). Menurut dia, pengalihan BP Migas ke Kementerian ESDM memang diperlukan, namun hanya saat masa transisi saja.
Pri Agung menambahkan, organisasi seperti BP Migas memang tidak seharusnya menjadi wasit atau bahkan pengatur (regulatory) dalam industri migas. Fungsi wasit dan pengatur itu tetap ada di Kementerian ESDM.
"Dalam konteks bubarnya BP Migas, 'mind set' kita harus berubah, dari semula memerlukan pengawas, pengendali, dan pengatur menjadi pelaku kegiatan usaha hulu atau perusahaan migas itu sendiri," ujarnya.
Konstitusi UUD 1945, lanjutnya, pada dasarnya mengamanatkan kemandirian melakukan sendiri kegiatan usaha hulu migas, sehingga diperlukan perusahaan khusus itu. Namun, menurut dia, jika perusahaan negara tidak sepenuhnya mampu, maka boleh dikerjasamakan dengan pihak lain.
"Karena itulah kemudian fungsi pengawasan dan pengendalian itu diperlukan," katanya. Jadi, tambahnya, tingkatan pengawasan dan pengendaliannya adalah secara "business to business" (B to B), seperti sebuah perusahaan mengawasi rekanannya.
Dalam putusan No 36/PUU-X/2012 yang dibacakan Ketua Majelis Hakim MK, Mahfud MD di Jakarta, Selasa, lembaga itu menyatakan pasal-pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat. Selanjutnya, fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan pemerintah cq kementerian terkait, sampai ada undang-undang baru yang mengatur hal tersebut.
Pengujian UU Migas diajukan 30 tokoh dan 12 ormas diantaranya PP Muhammadiyah yang diwakili Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
Sementara tokohnya antara lain Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Salahuddin Wahid, Laode Ida, Hendri Yosodiningrat, dan AM Fatwa. Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. [ant]
"Kalau permanen, sama saja dengan sistem BP Migas sekarang ini yang berpola 'government to business' (G to B) yang rawan dari sudut pandang konstitusi," katanya di Jakarta, Rabu (14/11/2012). Menurut dia, pengalihan BP Migas ke Kementerian ESDM memang diperlukan, namun hanya saat masa transisi saja.
Pri Agung menambahkan, organisasi seperti BP Migas memang tidak seharusnya menjadi wasit atau bahkan pengatur (regulatory) dalam industri migas. Fungsi wasit dan pengatur itu tetap ada di Kementerian ESDM.
"Dalam konteks bubarnya BP Migas, 'mind set' kita harus berubah, dari semula memerlukan pengawas, pengendali, dan pengatur menjadi pelaku kegiatan usaha hulu atau perusahaan migas itu sendiri," ujarnya.
Konstitusi UUD 1945, lanjutnya, pada dasarnya mengamanatkan kemandirian melakukan sendiri kegiatan usaha hulu migas, sehingga diperlukan perusahaan khusus itu. Namun, menurut dia, jika perusahaan negara tidak sepenuhnya mampu, maka boleh dikerjasamakan dengan pihak lain.
"Karena itulah kemudian fungsi pengawasan dan pengendalian itu diperlukan," katanya. Jadi, tambahnya, tingkatan pengawasan dan pengendaliannya adalah secara "business to business" (B to B), seperti sebuah perusahaan mengawasi rekanannya.
Dalam putusan No 36/PUU-X/2012 yang dibacakan Ketua Majelis Hakim MK, Mahfud MD di Jakarta, Selasa, lembaga itu menyatakan pasal-pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat. Selanjutnya, fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan pemerintah cq kementerian terkait, sampai ada undang-undang baru yang mengatur hal tersebut.
Pengujian UU Migas diajukan 30 tokoh dan 12 ormas diantaranya PP Muhammadiyah yang diwakili Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
Sementara tokohnya antara lain Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Salahuddin Wahid, Laode Ida, Hendri Yosodiningrat, dan AM Fatwa. Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. [ant]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar