Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
Jakarta
Tak semua anak bisa merayakan peringatan Hari Anak Nasional. Febry (15)
salah satunya. Remaja ini harus bertarung hidup ditengah gemerlapnya
Jakarta dengan mengamen.
Selama bertahun-tahun Febry harus merasakan teriknya matahari dan
tebalnya asap knalpot demi melanjutkan hidupnya. Dia biasa mengamen di
sekitar Cililitan, Jakarta Timur. Meski begitu ia masih menyimpan
harapan untuk dapat bersekolah.
"Saya juga inginnya bisa sekolah,
ingin meneruskan cita-cita saya sebagai TNI supaya bisa melindungi
rakyat dan banggain orangtua saya," ujar Febry saat ditemui detikcom di
seputaran Pusat Grosir Cililitan (PGC), Cililitan, Jakarta Timur, Rabu
(23/7/2012).
Febry mengaku setiap harinya ia berangkat dari
kontrakannya di daerah Condet sejak pukul 06.00 WIB kemudian memutari
kawasan PGC. Terkadang ia harus mengamen di beberapa angkutan umum
jurusan Pasar Minggu dan kembali ke PGC menjelang petang.
Tak
berhenti di situ, Febry masih terus mengamen hingga pukul 22.00 WIB di
kawasan pusat perbelanjaan tersebut. Penghasilannya sehari rata-rata
berkisar antara Rp 15.000 hingga Rp 20.000.
"Tapi kalau sekarang lagi sepi, enggak macet," kata Febry yang mengaku hari ini hanya mendapatkan Rp 8.000," ujarnya..
Tak
berapa lama adzan Maghrib berkumandang, Febry pun lekas meminta izin
untuk membeli semangkuk Soto Ayam untuk berbuka puasa dengan hasil
ngamennya tadi. Rupanya satu mangkuk Soto itu tak hanya dinikmati oleh
Febry sendiri. Ia bersama kawan-kawan pengamen lainnya ikut mengeroyok
semangkuk Soto Ayam yang terlihat masih panas itu.
"Dulu saya
sempat tidak ngamen karena dimarahi orangtua," cerita Febry usai berbuka
puasa. Ia pun sempat ikut orang lain berjualan buah Duren.
"Kadang
kalau lagi sepi saya melamun suka kangen kumpul bareng anak-anak
jalanan lain, karena disitu saya merasakan senang maupun susah,"
sambungnya.
Selama menjadi pengamen, Febry mengaku belum pernah
terjaring razia penertiban oleh Satpol PP. Namun adiknya yang juga
seorang pengamen sudah pernah terjaring razia sebanyak 4 kali. Untuk
membebaskan adiknya, Febry harus merogeh kocek yanng cukup dalam.
"Terakhir
saya tebus bayar Rp 200.000. Adik saya juga cerita kalau ada pengamen
yang meninggal di panti di daerah Cipayung karena sakit. Tapi
orangtuanya tidak tahu akhirnya dikubur massal gitu saja," kata Febry
yang menyesalkan kejadian tersebut.
Febry sendiri berharap ada
perubahan perilaku Satpol PP dalam menertibkan para pengamen. "Jangan
dipukul, kan bisa bilang baik-baik jangan ngamen, kita juga mengerti,"
pinta Febry.
Di Hari Anak Nasional ini, Febry berharap bisa
mencicipi kebahagian seperti yang dirasakan anak-anak lain. "Berkumpul
bersama keluarga, mendapat pelukan dan kasih sayang orangtua. Tapi itu
tidak mungkin karena saya bekerja untuk membantu orang tua saya,"
tutupnya dengan pandangan mata nerawang jauh ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar