Fajar Pratama - detikNews
Jakarta - KPK khawatir pola korupsi baru bisa muncul,
jika sistem Pilkada langsung dihapus dan digantikan sistem tak langsung.
Potensi munculnya pola baru ini sangat besar.
Wakil Ketua KPK
Busyro Muqoddas menyatakan setidaknya ada dua pola yang muncul, karena
imbas Pilkada dilakukan dengan sistem perwakilan. Dua pola itu sama-sama
terkait dengan DPRD.
1. Kepala Daerah Jadi ATM Anggota DPRD
Dengan
Pilkada sistem perwakilan, maka suara rakyat dialihkan kepada anggota
DPRD. Dengan sistem ini, anggota DPRD memiliki posisi tawar yang jauh
lebih tinggi di depan si kepala daerah.
Begitu pemerintahan sudah
berjalan, anggota DPRD bisa dengan mudah meminta uang dengan dalih
untuk memuluskan program yang diajukan kepala daerah. Pola ini
sebenarnya sudah jamak terjadi, namun dengan sistem perwakilan kepala
daerah berada dalam posisi sangat terpojok.
Dan dalam masa
pemerintahannya, si kepala daerah sangat mungkin untuk terus-terusan
dimintai uang oleh legislator, entah itu terkait program yang diajukan
atau karena imbas perjanjian pada saat Pilkada dilakukan.
"Pilihan
kepala daerah oleh DPRD merupakan korupsi demokrasi. Walaupun dengan
dalih apapun. Kepala daerah terpilih potensial ATM anggota DPRD
setempat. Anggota DPRD merasa lebih leluasa memeras kepala daerahnya,"
ujar Busyro.
2. Segitiga Suap Pengusaha-DPRD-Kepala Daerah
Pola
yang kedua ini merupakan skema yang lebih besar. Jika dalam sistem
Pilkada langsung, pihak swasta yang hendak mendapatkan izin cukup
memberikan uang pelicin kepada kepala daerah, dengan sistem perwakilan
peta rasuah menjadi lebih luas.
Para anggota DPRD -para pihak
yang memilih si kepala daerah dalam pilkada -- berpotensi kuat akan ikut
serta dalam proses tersebut. "Praktek korupsi di Kepala Daerah tingkat
II untuk IUP akan semakin parah dan semakin rentan karena korporasi
tambang lebih mudah menyogok anggota DPRD," ujar Busyro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar